P KONTEMPLASI SEORANG SANTRI ~ Mas Yudi ..!!!
Assalamu'alaikum ..... Selamat Datang di Blog Anak Desa ...

Beranda

Kamis, 14 November 2013

KONTEMPLASI SEORANG SANTRI

Santri adalah sebutan bagi pelajar yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Sementara pondok pesantren itu sendiri adalah sebuah tempat belajar agama Islam yang memiliki asrama untuk para santrinya.

ARTI DAN MAKNA SANTRI
Santri sendiri sebenarnya memiliki makna. Bukan hanya plesetan dari kata “pesantren” menjadi “pesantri” yang kemudian pelakunya disebut “santri”.
20-279x300Menurut bahasa arti kata Santri adalah “Sastri” (sansekerta) yang berarti orang yang melek huruf. Kemudian arti kedua adalah “Cantrik” (jawa) yang berarti seseorang yang mengikuti Kiai kemanapun dia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tertentu. Namun konon ada beberapa ‘Ulama yang memaknai kata Santri menjadi beberapa huruf arab yang dipilah. Santri terdiri dari empat huruf, yaitu SIN, NUN, TA, RO.
SIN. SIN bermakna Satrul ‘Auroh (Menutup Aurat). Makna ini menjelaskan bahwa Santri adalah orang yang senantiasa menutup auratnya. Aurat yang dimaksud disini ada dua macam, yaitu aurat lahiriah dan aurat batiniah. Seorang santri harus bisa menutup aurat lahiriah yang sudah ditentukan dalam syari’at. Kalau laki-laki dari pusar sampai lutut, dan perempuan seluruh tubuh kecuali telapak tangan. Begitupun seorang santri harus bisa menutup aurat batiniah. Hatinya terjaga dari hal-hal yang mengundang dosa. Bertakwa kepada Alloh dimanapun santri berada. Salah satunya adalah dengan memiliki rasa malu. Budaya malu ini kalau boleh saya bilang sangat kental sekali di lingkungan pesantren. Memang itulah yang seharusnya dijaga oleh seorang santri. Karena malu adalah sebagian dari iman.
NUN. NUN bermakna Naibul ‘Ulama (Wakil dari ‘Ulama). Makna ini menjelaskan bahwasanya santri harus memiliki pengetahuan yang luas. Baik dalam ilmu agama maupun dalam ilmu dunia. Kemudian dengan ilmu tersebut santri dapat mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari. Bagaimana berinteraksi dengan masyarakat, bagaimana bersikap bijak dalam menghadapai persoalan masyarakat, bagaimana terus mengikuti perkembangan masyarakat. Oleh itu, salah jika seandainya ada yang beranggapan bahwa santri adalah kaum yang termarjinalkan. Karena santri dituntut untuk terus berhubungan dengan masyarakat sebagai bagian dari misi sang ‘Ulama, yaitu berdakwah, karena ‘Ulama adalah pewaris para nabi.
TA. TA bermakna Tarkul Ma’siyah (Meninggalkan Maksiat). Makna ini menegaskan bahwa santri harus senantiasa menjaga perilakunya. Dengan ilmu agama yang dimilikinya, seorang santri harus bisa menjaga idealismenya dalam berislam. Tetap memegang teguh syari’at islam yang menjadi dasar dari setiap pengambilan keputusan dikehidupannya.
RO. RO bermakna Roisul Ummah (Pelayan Ummat). Makna ini menekankan bahwa santri harus peduli kepada urusan Ummat Islam. Seperti yang kita ketahui, Pelayan memiliki dua tugas, yaitu pertama bagaimana dia beribadah kepada Alloh baik secara individu maupun sosial dan kedua bagaimana dia mengelola kepentingan Ummat. Disini santri yang berlabel sebagai pelayan harus memiliki kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Kecakapan pribadi bisa berbentuk kemampuan untuk mentarbiyah dirinya sendiri agar tetap memiliki motivasi untuk beribadah. Kemudian kecakapan sosial bisa berbentuk kepiawaian dalam berpolitik, keramahan dalam berkomunikasi dengan lingkungan, dan bisa berlaku adil terhadap suatu perkara.
Betapa berat sekali makna santri bagi kehidupannya sendiri dan kehidupan masyarakat. Sama beratnya dengan tanggung jawab yang harus dipikul oleh santri. Seorang santri diharuskan memiliki perangai yang terpuji (Menutup Aurat, Meninggalkan Maksiat) dan mampu melayani Ummat (Wakil ‘Ulama, Pelayan Ummat). Melalui lembaga pesantrenlah santri ditempa dan dididik.
SEJARAH PESANTREN
Pesantren sebagai wadah yang menempa kehidupan santri agar tercapai apa yang yang menjadi makna dari kata santri itu sendiri, tentulah memiliki sejarahnya tersendiri. Berdirinya pesantren sebenarnya memiliki latar belakang yang beragam. Tapi jika ingin ditarik garis lurus, maka pesantren itu ada untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ilmu pengetahuan. Masyarakat memiliki kepercayaan kepada Kiai setempat akan keluasan ilmu dan budi pekertinya yang baik. Pada ujungnya berakhir dengan datangnya masyarakat secara berbondong-bondong untuk menuntut ilmu kepada Kiai tersebut.
Biasanya, pesantren terkenal di pulau Jawa-Madura, karena awal berdirinya pesantren bermula di Pulau Jawa-Madura. Ada dua pendapat yang menyebutkan seputar berdirinya pesantren.
Pertama, pesantren muncul dari tarekat-tarekat. Pada zaman dulu, syiar Islam bergerak melalui tarekat-tarekat. Tarekat ini senantiasa mengamalkan dzikir dan wirid tertentu dengan panduan seorang Kiai. Biasanya tarekat ini bergerak dari masjid ke masjid dan berdiam diri di masjid tersebut dalam kurun waktu tertentu. Seperti ber ‘Itikaf. Saat berdiam diri di masjid tersebut, Kiai mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam disamping dzikir dan wiridan. Seiring dengan perkembangan zaman, tarekat ini membentuk sebuah lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan pesantren.
Pendapat kedua menyebutkan bahwa pesantren sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Budha eksis di Nusantara. Kerajaan Hindu-Budha membentuk sebuah lembaga-lembaga syiar agama Hindu-Budha dan membina kader-kadernya untuk penyebaran ideologi. Sistemnya sama seperti pesantren yang dikenal saat ini. Fakta ini diperkuat dengan tidak ditemukannya lembaga pesantren di negeri Islam yang lain. Sementara ditemukan dalam masyarakat Hindu-Budha di Myanmar, Thailand. Nurcholis Madjid juga menyebutkan bahwa Islam masuk ke Nusantara dengan memanfaatkan sistem dari lembaga (pesantren) yang sudah ada. Islam datang tinggal hanya mengIslamkan. Sehingga pesantren ini tidak hanya diidentikkan dengan Islam, melainkan juga mengandung makna keaslian Indonesia.
SEDIKIT POTRET DARI DALAM PESANTREN
Saya mengambil sudut pandang dari pengalaman saya sendiri tentang kehidupan di pesantren. Walau cukup singkat saya berada di dalam sebuah wadah penempaan santri ini, tiga tahun, tetapi secara garis besar mungkin bisa merepresentasikan apa yang terjadi di pesantren-pesantren lain di seantero Pulau Jawa.
Pesantren yang terletak di kaki Gunung Gede-Pangrango, Jln. SPN Lido, Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kab.Bogor, Jawa Barat, bisa dikatakan memiliki latar belakang budaya masyarakat yang unik, yaitu masyarakat Sunda. Kenapa saya bilang unik, karena saya berasal dari Kota Depok, Jawa Barat, yang masyarakatnya memiliki beragam latar belakang budaya. Saya tidak terbiasa dengan pengajaran berbahasa Sunda. Ini terasa aneh manakala ada pengejaan huruf “F” menjadi “P” di beberapa pengajar asli daerah sekitar pesantren. Atau mengartikan bahasa Arab kedalam bahasa sunda dengan logat-logat yang khas. Sangat menarik, walau sewaktu SD saya pernah belajar bahasa sunda di muatan lokal, tapi tetap saja saya tidak terlalu memahaminya.
Pesantren yang saya tempati bisa terbilang pesantren modern. Parameter modern bukan berarti fasilitasnya yang serba canggih, ada alat fitness, gedung asrama yang berlantaikan keramik dan berdindingkan semen. Tetapi parameter modern yang dimaksud adalah berupa pelajaran-pejaran ilmu dunia yang masuk ke dalam kurikulum pesantren. Jangan dikira di pesantren tidak ada pelajaran Biologi, Fisika, Matematika. Satu hal yang diingat, pesantren telah mengalami perubahan penyuguhan ilmu kepada santrinya. Kalau dulu terkenal istilah “Pesantren Tradisional” karena kurikulum yang ada di pesantren hanya memuat pelajaran ilmu agama dan ilmu tasawuf. Sedangkan sekarang, terjadi yang disebut Nurcholis Madjid sebagai “modernisasi”. Bagi Nurcholis Madjid, modernisasi identik dengan “rasionalisasi”, karena rasionalisasi adalah sebuah kemestian agar apa yang para santri sampaikan terkait Islam, bisa diterima oleh masyarakat secara rasional/logis.
Oleh karenanya, ilmu-ilmu dunia seperti Matematika, Fisika, Biologi itu sangat diperlukan oleh santri dalam merasionalisasikan hubungan agama dengan realita alam semesta. Dalam contoh kasus penciptaan alam semesta, bagaimana santri bisa menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan penciptaan alam semesta jika santri tidak memiliki pengetahuan Fisika yang cukup ? Atau pada proses penciptaan manusia, bagaimana santri bisa mengerti maksud ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang proses penciptaan manusia jika santri tidak menguasai ilmu Biologi ? Itulah bentuk modernisasi pesantren yang bisa kita lihat saat ini.
Dalam kondisi pesantren yang bisa dibilang “modern”, tentunya tidak melupakan begitu saja ilmu agama yang dari awal kemunculannya menjadi corak khas pesantren. Seperti misalnya Fiqh, Siroh Nabawiyah. Kemudian untuk meningkatkan keahlian dalam berbahasa Arab (salah satu ciri khas lain pesantren) santri juga belajar bahasa Arab. Kitab yang dipakai saya lupa, hanya saja dari informasi yang didapat kitab tersebut adalah kitab untuk masa ‘Idad (persiapan) untuk berkuliah di LIPIA, Jakarta. Selain itu, santri juga diharuskan menghafal mufrodat (kosa kata bahasa Arab), muhadatsah (percakapan) dengan menggunakan bahasa Arab, atau kegiatan besarnya yang dilaksanakan satu kali setiap seminggu adalah muhadhoroh. Pada momen ini, biasanya santri akan berpidato dalam tiga bahasa, yakni Inggris, Arab, dan Indonesia. Tak terlewatkan juga santri ditingkatkan kemampuannya dalam penguasaan gramatikal bahasa Arab. Kitab yang digunakan adalah kita Jurumiyah.
FIQH
Kitab Fiqh yang dikaji dan dipelajari adalah Fiqh Sunnah (Sayyid Sabiq). Kitab Fiqh ini kira-kira berukuran setengah kertas A4. Semua bertuliskan huruf Arab. Dengan dibimbing oleh Kiai, satu persatu kalimat-kalimat Arab diartikan kedalam bahasa Indonesia. Selain menambah wawasan keislaman, tentunya ini dimaksudkan agar kosa kata bahasa Arab yang diketahui santri akan bertambah.
SIROH NABAWIYAH
Kitab Siroh Nabawiyah yang menceritakan sejarah kehidupan Nabi Muhammad semenjak kelahiran sampai wafatnya beliau. Ukuran kitabnya sama dengan kitab Fiqh. Bahasa tulisannya pun sama, yaitu tulisan Arab. Metode yang dipakai sama dengan pengajaran pada kitab Fiqh. Pengejaan satu per satu kata bahasa Arab kemudian diartikan kedalam bahasa Indonesia.
MUFRODAT & MUHADATSAH
Biasanya agenda ini dilakukan selepas subuh sampai jam 6 pagi di lapangan. Tiap santri berpasang-pasangan dengan kawannya sambil menggenggam kertas yang berisi kosa kata dan percakapan berbahasa Arab. Itu semua dihafalkan, kemudian percakapan tersebut didemokan tanpa melihat kertas. Yang sudah hafal dan lancar bisa pulang duluan ke asrama.
MUHADHOROH
Agenda ini dilakukan satu kali dalam rentang waktu satu minggu. Isi agendanya berupa pidato bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia. Setelah itu ada agenda tambahan berupa hiburan teatrikal persembahan santri. Dan digilir tiap kamar di dalam asrama.
KITAB JURUMIYAH
Ini adalah kitab yang digunakan untuk belajar gramatikal bahasa Arab. Ukurannya sama seperti kertas Folio. Berwarna kuning. Berisi tulisan Arab, hanya saja tulisan Arab yang tidak ada tanda bacanya alias Arab gundul. Kiai yang mengajari mengeja kata per kata kemudian diartikan kedalam bahasa Indonesia sekalian para santri belajar menambahkan tanda baca pada tulisan Arab yang ada. Sangat kental sekali istilah Na’at Man’ut, Jar Majrur, Itsim Mutsanna, Itsim Muannas, Itsim Mudzakkar.
HARI BERBAHASA ARAB & HARI BERBAHASA INGGRIS
Ada suatu hari yang ditentukan kepada semua santri untuk berbahasa Arab. Begitupun berbahasa Inggris. Sangat berguna sekali untuk memperlancar kemampuan santri dalam berkomunikasi menggunakan bahasa non-Indonesia.
RUTINITAS HARIAN
Untuk rutinitas harian, santri laki-laki (santriwan) dan santri perempuan (santriwati) selalu dipisah dalam segala aktifitasnya, begitupun asrama dan ruang kelas. Pagi-pagi berangkat sekolah untuk belajar ilmu agama dan ilmu dunia. Selepas dzuhur istirahat sampai ashar. Selepas ashar sampai maghrib baru kembali beraktifitas dengan segudang pilihan olah tubuh. Tak lupa pula sesaat menjelang maghrib diisi dengan wirid alma’tsurat. Dulunya memang terlihat seperti tidak mungkin alma’tsurat itu di hafalkan. Dan pada kenyataannya memang saya tidak pernah menghafalnya. Dengan sendirinya bacaan wirid itu melekat di kepala seiring dengan bertambahnya tingkat kerutnan dalam membacanya.
Ada hal yang sangat berkesan diantara waktu maghrib dan isya’. Begitupun selepas subuh jika tidak ada agenda Muhadatsah. Yaitu para santri menghafal Al-Qur’an. Tak terasa juz demi juz berhasil dihafal. Cita-cita yang terpatri di diri santri pada waktu itu adalah “Aku harus menjadi seorang hafidz”. Dengan cita-cita yang begitu mulia serta lingkungan yang sangat kondusif, santri terus termotivasi untuk mengembangkan dirinya. Walau memang ada sedikit penyimpangan-penyimpangan gejolak kaum muda, tapi itu bisa terkondisikan. Tidak terlalu berlarut-larut. Kadang saya berfikir, dengan lingkungan yang kondusif dan interaksi antara santriwan-santriwati yang minim, ternyata bisa meningkatkan ghiroh beramal. Setelah bertahun lamanya saya berpisah dari dunia kepesantrenan, mungkin hal inilah yang terlupakan. Bisa jadi berkurangnya ghiroh beramal kita dikarenakan terlalu banyak memikirkan tentang materil serta terlalu sibuk menata hati yang sedang diliputi syahwat sesaat hingga lupa terhadap tugas pokok sebagai seorang muslim.
SANTRI DAN GLOBALISASI
Globalisasi adalah sebuah masa dimana manusia terhubung tanpa melihat batas territorial Negara. Hubungan yang terjalin biasanya hubungan dagang antar Negara, hubungan karena adanya perjalanan melintasi benua, hubungan karena penyebaran budaya, dan bentuk hubungan lainnya yang membuat batas Negara seakan tidak terlihat.
Menurut Thomas L. Friedman, Globlisasi memiliki dimensi ideologi dan teknlogi. Dimensi ideologi yaitu kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan dimensi teknologi adalah teknologi informasi yang telah menyatukan dunia. Seperti yang diketahui, pertengahan abad 20 menjadi momen penting dimana globalisasi sebagai proses bisa berkembang dengan cepat. Melirik definisi globalisasi yang diutarakan Thomas, bahwa telah terjadi ledakan dalam dimensi teknologi, ditandai dengan kemunculan internet sebagai suatu hal yang membuat arus informasi dari seluruh penjuru dunia mengalir sangat cepat, disamping dimensi ideologi kapitalis yang dibawa sehingga sangat menguntungkan para pemodal. Hal ini tentunya juga berpengaruh terhadap kehidupan santri.
Salah satu contohnya adalah kurikulum pesantren yang tentunya langsung berhubungan dengan proses belajar santri. Kalau ingin dikaitkan dengan bahasan sebelumnya, modernisasi pesantren dalam tataran kurikulum rupanya termasuk dari dampak globalisasi. Dimana ummat islam harus mencari cara agar anak mudanya tidak menjadi kuno di eranya. Maka dari itu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu pasti mulai dimunculkan dan dimasukkan ke dalam satuan pembelajaran dengan tetap diiringi ilmu agama. Tujuan dan harapannya tak lain agar santri lebih mudah beradaptasi dan mampu menjalankan amanat huruf “RO” yang menyusunnya, yaitu Roisul Ummah.
Dilihat dari segi komunikasi, sudah mulai bertebaran alat komunikasi di genggaman santri era global ini. Dengan adanya alat komunikasi tentunya semakin mudah santri untuk berhubungan dengan orang lain, termasuk dengan lawan jenisnya. Karenanya, mungkin sekarang tak asing lagi jika komunikasi antara santriwan dan santriwati bisa terlihat sangat cair. Biasanya, suasana cair tersebut terlihat di media-media sosial, tapi gagap ketika bertemu tatap muka. Tapi hal tersebut cenderung terjadi kepada santriwan-santriwati di masa-masa awal proses globalisasi, menuju proses globalisasi yang lebih matang, bermunculanlah VCD/CD film yang mempertontonkan ketidak canggungan interaksi lawan jenis, wal hasil, santriwan dan santriwati pun semakin pintar dalam berkomunikasi. Seperti itulah santri di era global ini. Walau saya tidak menafikan bahwa masih ada santri yang menjaga imunitasnya dan terus memperkuat imunitasnya. Apakah itu semua terjadi hanya kepada santri ? Tentu tidak. Banyak kalangan muda yang non-santri mengalami hal serupa. Tetapi setidaknya dengan menjadi santri sudah terminimalisirlah resiko-resiko negatif yang ada.
MASIH ADAKAH SIN, NUN, TA, RO ?
Duhai kawan-kawan yang pernah merasakan nikmat dan indahnya kehidupan pesantren, bahwa sesungguhnya Alloh pasti menguji orang yang dicintainya. Saya teringat kepada sebuah syair yang ditulis oleh seorang Mujahidin Iraq, Abu Mush’ab Az-Zarqawi.
Bersabarlah dalam mengahadapi kengerian !
Karena kelak engkau akan memetik buahnya
Sabar hanyalah milik orang-orang yang mulia
Dan dari sabar itu Alloh tumbuhkan ketenangan
“Sungguh, kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka Alloh pasti menegetahui orang-orang yang jujur (benar) dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-Ankabut : 3)
Memang sangat berat tantangan globalisasi yang menghampiri kita. Segalanya bisa berubah dengan cepat jika imunitas yang telah ditancapkan oleh para Asatidz semakin hari semakin melemah dan semakin diperlemah dengan kebodohan karena ketidaktahuan kita terhadap suatu perkara dunia dalam sudut pandang syari’at Islam.
Memang berat manakala diri kita menanggung keterasingan sebagai cap dari masyarakat sekitar dikala kita mengamalkan sikap kesantrian kita yang telah dibentuk oleh para Asatidz di pesantren. Ibnu Taimiyah pun berkata tentang keterasingan, “bisa jadi keterasingan itu terjadi pada sebagian syari’atNya, atau pada sebagian wilayah. Misalnya saja di sebuah wilayah, syariat-syariat Alloh tidak diketahui banyak orang, sehingga para pengamalnya pun merasa terasingdi tengah-tengah masyarakat tersebut. Tidak ada yang mengerti disyariatkannya amal tersebut kecuali satu atau dua orang saja.”
Duhai kawan-kawan ku sesama santri. Ternyata baru ku sadari bahwa sang penanggung keterasingan adalah sang penghidup zaman. Keterasingan, bahkan kesendirian, merupakan jalan hidup para nabi dan rosul sejak dulu kala. Sebagaimana sabda Rosul, “Islam datang dalam keadaan terasing dan akan kembali asing sebagaimana datangnya. Maka berbahagialah orang-orang yang terasing.” (HR. Muslim).
Duhai kawan-kawan ku sesama santri. Imun yang bisa kita gunakan di era ini dan saat ini juga adalah kesabaran. Sama seperti yang dulu nabi-nabi gunakan. Tanpa sabar, mustahil agama seseorang bisa selamat. Itulah kenapa Nabi SAW menyebut hari-hari keterasingan sebagai hari-hari kesabaran.
Setalah bersabar, maka perkuatlah kesabaran itu dengan keyakinan. Karena dengan sabar dan yakin, akan membuat hati kita menjadi tenang. Dengan kayakinan bahwa Alloh yang memerintahkan kita untuk mengerjakan amal-amal soleh, insya Alloh, akan ditambahkan olehNya keyakinan kita akan apa yang kita lakukan sehingga hati kita pun menjadi semakin tenang. Seperti yang Alloh sampaikan, “Dialah yang telah menurunkan ketenangan kedalam hati orang-orang mukmin, supaya keimanan mereka bertambah, disamping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Alloh lah tentara langit dan bumi, dan Alloh maha mengetahui lagi maha bijaksana.” (Al-Fath :4).
Terakhir, saya ingat kepada sebuah ayat yang sering dibacakan oleh Ustadz saya di sebuah bilik bambu yang berdiri tegak dipinggir empang dan ditengah rimbunnya pepohonan, “Hai ornag-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan solat sebagai penolong mu, sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqoroh : 153).
Harapan bagi santri untuk menjadi SIN, NUN, TA, RO tetap terbuka lebar, ketika santri menjadikan sabar sebagai tamengnya dan selalu memperkuat kesabarannya dalam menghadapi perubahan zaman dengan segala likunya.
Teringatkah kita dengan kisah perang Uhud, dimana tentara pemanah tidak sabar menahan dirinya untuk ikut membantu pasukan dalam mengumpulkan Ghanimah ?
Sabar dalam memulai, sabar dalam pelaksanaannya, dan sabar setelah semuanya usai dilaksanakan.

Daftar Pustaka . http://doupafia.wordpress.com/2013/04/04/kontemplasi-seorang-santri/

0 komentar:

Posting Komentar