Santri adalah sebutan bagi
pelajar yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Sementara pondok
pesantren itu sendiri adalah sebuah tempat belajar agama Islam yang
memiliki asrama untuk para santrinya.
ARTI DAN MAKNA SANTRI
Santri sendiri sebenarnya memiliki makna.
Bukan hanya plesetan dari kata “pesantren” menjadi “pesantri” yang
kemudian pelakunya disebut “santri”.
Menurut bahasa arti kata Santri adalah
“Sastri” (sansekerta) yang berarti orang yang melek huruf. Kemudian arti
kedua adalah “Cantrik” (jawa) yang berarti seseorang yang mengikuti
Kiai kemanapun dia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian
tertentu. Namun konon ada beberapa ‘Ulama yang memaknai kata Santri
menjadi beberapa huruf arab yang dipilah. Santri terdiri dari empat
huruf, yaitu SIN, NUN, TA, RO.
SIN. SIN bermakna Satrul ‘Auroh
(Menutup Aurat). Makna ini menjelaskan bahwa Santri adalah orang yang
senantiasa menutup auratnya. Aurat yang dimaksud disini ada dua macam,
yaitu aurat lahiriah dan aurat batiniah. Seorang santri harus bisa
menutup aurat lahiriah yang sudah ditentukan dalam syari’at. Kalau
laki-laki dari pusar sampai lutut, dan perempuan seluruh tubuh kecuali
telapak tangan. Begitupun seorang santri harus bisa menutup aurat
batiniah. Hatinya terjaga dari hal-hal yang mengundang dosa. Bertakwa
kepada Alloh dimanapun santri berada. Salah satunya adalah dengan
memiliki rasa malu. Budaya malu ini kalau boleh saya bilang sangat
kental sekali di lingkungan pesantren. Memang itulah yang seharusnya
dijaga oleh seorang santri. Karena malu adalah sebagian dari iman.
NUN. NUN bermakna Naibul ‘Ulama
(Wakil dari ‘Ulama). Makna ini menjelaskan bahwasanya santri harus
memiliki pengetahuan yang luas. Baik dalam ilmu agama maupun dalam ilmu
dunia. Kemudian dengan ilmu tersebut santri dapat mengaplikasikannya di
kehidupan sehari-hari. Bagaimana berinteraksi dengan masyarakat,
bagaimana bersikap bijak dalam menghadapai persoalan masyarakat,
bagaimana terus mengikuti perkembangan masyarakat. Oleh itu, salah jika
seandainya ada yang beranggapan bahwa santri adalah kaum yang
termarjinalkan. Karena santri dituntut untuk terus berhubungan dengan
masyarakat sebagai bagian dari misi sang ‘Ulama, yaitu berdakwah, karena
‘Ulama adalah pewaris para nabi.
TA. TA bermakna Tarkul Ma’siyah
(Meninggalkan Maksiat). Makna ini menegaskan bahwa santri harus
senantiasa menjaga perilakunya. Dengan ilmu agama yang dimilikinya,
seorang santri harus bisa menjaga idealismenya dalam berislam. Tetap
memegang teguh syari’at islam yang menjadi dasar dari setiap pengambilan
keputusan dikehidupannya.
RO. RO bermakna Roisul Ummah (Pelayan
Ummat). Makna ini menekankan bahwa santri harus peduli kepada urusan
Ummat Islam. Seperti yang kita ketahui, Pelayan memiliki dua tugas,
yaitu pertama bagaimana dia beribadah kepada Alloh baik secara individu
maupun sosial dan kedua bagaimana dia mengelola kepentingan Ummat.
Disini santri yang berlabel sebagai pelayan harus memiliki kecakapan
pribadi dan kecakapan sosial. Kecakapan pribadi bisa berbentuk kemampuan
untuk mentarbiyah dirinya sendiri agar tetap memiliki motivasi untuk
beribadah. Kemudian kecakapan sosial bisa berbentuk kepiawaian dalam
berpolitik, keramahan dalam berkomunikasi dengan lingkungan, dan bisa
berlaku adil terhadap suatu perkara.
Betapa berat sekali makna santri bagi
kehidupannya sendiri dan kehidupan masyarakat. Sama beratnya dengan
tanggung jawab yang harus dipikul oleh santri. Seorang santri diharuskan
memiliki perangai yang terpuji (Menutup Aurat, Meninggalkan Maksiat)
dan mampu melayani Ummat (Wakil ‘Ulama, Pelayan Ummat). Melalui lembaga
pesantrenlah santri ditempa dan dididik.
SEJARAH PESANTREN
Pesantren sebagai wadah yang menempa
kehidupan santri agar tercapai apa yang yang menjadi makna dari kata
santri itu sendiri, tentulah memiliki sejarahnya tersendiri. Berdirinya
pesantren sebenarnya memiliki latar belakang yang beragam. Tapi jika
ingin ditarik garis lurus, maka pesantren itu ada untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat akan ilmu pengetahuan. Masyarakat memiliki
kepercayaan kepada Kiai setempat akan keluasan ilmu dan budi pekertinya
yang baik. Pada ujungnya berakhir dengan datangnya masyarakat secara
berbondong-bondong untuk menuntut ilmu kepada Kiai tersebut.
Biasanya, pesantren terkenal di pulau
Jawa-Madura, karena awal berdirinya pesantren bermula di Pulau
Jawa-Madura. Ada dua pendapat yang menyebutkan seputar berdirinya
pesantren.
Pertama, pesantren muncul dari
tarekat-tarekat. Pada zaman dulu, syiar Islam bergerak melalui
tarekat-tarekat. Tarekat ini senantiasa mengamalkan dzikir dan wirid
tertentu dengan panduan seorang Kiai. Biasanya tarekat ini bergerak dari
masjid ke masjid dan berdiam diri di masjid tersebut dalam kurun waktu
tertentu. Seperti ber ‘Itikaf. Saat berdiam diri di masjid tersebut,
Kiai mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam disamping dzikir dan wiridan.
Seiring dengan perkembangan zaman, tarekat ini membentuk sebuah lembaga
pendidikan Islam yang dikenal dengan pesantren.
Pendapat kedua menyebutkan bahwa
pesantren sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Budha eksis di Nusantara.
Kerajaan Hindu-Budha membentuk sebuah lembaga-lembaga syiar agama
Hindu-Budha dan membina kader-kadernya untuk penyebaran ideologi.
Sistemnya sama seperti pesantren yang dikenal saat ini. Fakta ini
diperkuat dengan tidak ditemukannya lembaga pesantren di negeri Islam
yang lain. Sementara ditemukan dalam masyarakat Hindu-Budha di Myanmar,
Thailand. Nurcholis Madjid juga menyebutkan bahwa Islam masuk ke
Nusantara dengan memanfaatkan sistem dari lembaga (pesantren) yang sudah
ada. Islam datang tinggal hanya mengIslamkan. Sehingga pesantren ini
tidak hanya diidentikkan dengan Islam, melainkan juga mengandung makna
keaslian Indonesia.
SEDIKIT POTRET DARI DALAM PESANTREN
Saya mengambil sudut pandang dari
pengalaman saya sendiri tentang kehidupan di pesantren. Walau cukup
singkat saya berada di dalam sebuah wadah penempaan santri ini, tiga
tahun, tetapi secara garis besar mungkin bisa merepresentasikan apa yang
terjadi di pesantren-pesantren lain di seantero Pulau Jawa.
Pesantren yang terletak di kaki Gunung
Gede-Pangrango, Jln. SPN Lido, Desa Srogol, Kecamatan Cigombong,
Kab.Bogor, Jawa Barat, bisa dikatakan memiliki latar belakang budaya
masyarakat yang unik, yaitu masyarakat Sunda. Kenapa saya bilang unik,
karena saya berasal dari Kota Depok, Jawa Barat, yang masyarakatnya
memiliki beragam latar belakang budaya. Saya tidak terbiasa dengan
pengajaran berbahasa Sunda. Ini terasa aneh manakala ada pengejaan huruf
“F” menjadi “P” di beberapa pengajar asli daerah sekitar pesantren.
Atau mengartikan bahasa Arab kedalam bahasa sunda dengan logat-logat
yang khas. Sangat menarik, walau sewaktu SD saya pernah belajar bahasa
sunda di muatan lokal, tapi tetap saja saya tidak terlalu memahaminya.
Pesantren yang saya tempati bisa
terbilang pesantren modern. Parameter modern bukan berarti fasilitasnya
yang serba canggih, ada alat fitness, gedung asrama yang
berlantaikan keramik dan berdindingkan semen. Tetapi parameter modern
yang dimaksud adalah berupa pelajaran-pejaran ilmu dunia yang masuk ke
dalam kurikulum pesantren. Jangan dikira di pesantren tidak ada
pelajaran Biologi, Fisika, Matematika. Satu hal yang diingat, pesantren
telah mengalami perubahan penyuguhan ilmu kepada santrinya. Kalau dulu
terkenal istilah “Pesantren Tradisional” karena kurikulum yang ada di
pesantren hanya memuat pelajaran ilmu agama dan ilmu tasawuf. Sedangkan
sekarang, terjadi yang disebut Nurcholis Madjid sebagai “modernisasi”.
Bagi Nurcholis Madjid, modernisasi identik dengan “rasionalisasi”,
karena rasionalisasi adalah sebuah kemestian agar apa yang para santri
sampaikan terkait Islam, bisa diterima oleh masyarakat secara
rasional/logis.
Oleh karenanya, ilmu-ilmu dunia seperti
Matematika, Fisika, Biologi itu sangat diperlukan oleh santri dalam
merasionalisasikan hubungan agama dengan realita alam semesta. Dalam
contoh kasus penciptaan alam semesta, bagaimana santri bisa menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan penciptaan alam semesta jika santri
tidak memiliki pengetahuan Fisika yang cukup ? Atau pada proses
penciptaan manusia, bagaimana santri bisa mengerti maksud ayat Al-Qur’an
yang menjelaskan tentang proses penciptaan manusia jika santri tidak
menguasai ilmu Biologi ? Itulah bentuk modernisasi pesantren yang bisa
kita lihat saat ini.
Dalam kondisi pesantren yang bisa
dibilang “modern”, tentunya tidak melupakan begitu saja ilmu agama yang
dari awal kemunculannya menjadi corak khas pesantren. Seperti misalnya
Fiqh, Siroh Nabawiyah. Kemudian untuk meningkatkan keahlian dalam
berbahasa Arab (salah satu ciri khas lain pesantren) santri juga belajar
bahasa Arab. Kitab yang dipakai saya lupa, hanya saja dari informasi
yang didapat kitab tersebut adalah kitab untuk masa ‘Idad (persiapan) untuk berkuliah di LIPIA, Jakarta. Selain itu, santri juga diharuskan menghafal mufrodat (kosa kata bahasa Arab), muhadatsah (percakapan) dengan menggunakan bahasa Arab, atau kegiatan besarnya yang dilaksanakan satu kali setiap seminggu adalah muhadhoroh.
Pada momen ini, biasanya santri akan berpidato dalam tiga bahasa, yakni
Inggris, Arab, dan Indonesia. Tak terlewatkan juga santri ditingkatkan
kemampuannya dalam penguasaan gramatikal bahasa Arab. Kitab yang
digunakan adalah kita Jurumiyah.
FIQH
Kitab Fiqh yang dikaji dan dipelajari
adalah Fiqh Sunnah (Sayyid Sabiq). Kitab Fiqh ini kira-kira berukuran
setengah kertas A4. Semua bertuliskan huruf Arab. Dengan dibimbing oleh
Kiai, satu persatu kalimat-kalimat Arab diartikan kedalam bahasa
Indonesia. Selain menambah wawasan keislaman, tentunya ini dimaksudkan
agar kosa kata bahasa Arab yang diketahui santri akan bertambah.
SIROH NABAWIYAH
Kitab Siroh Nabawiyah yang menceritakan
sejarah kehidupan Nabi Muhammad semenjak kelahiran sampai wafatnya
beliau. Ukuran kitabnya sama dengan kitab Fiqh. Bahasa tulisannya pun
sama, yaitu tulisan Arab. Metode yang dipakai sama dengan pengajaran
pada kitab Fiqh. Pengejaan satu per satu kata bahasa Arab kemudian
diartikan kedalam bahasa Indonesia.
MUFRODAT & MUHADATSAH
Biasanya agenda ini dilakukan selepas
subuh sampai jam 6 pagi di lapangan. Tiap santri berpasang-pasangan
dengan kawannya sambil menggenggam kertas yang berisi kosa kata dan
percakapan berbahasa Arab. Itu semua dihafalkan, kemudian percakapan
tersebut didemokan tanpa melihat kertas. Yang sudah hafal dan lancar
bisa pulang duluan ke asrama.
MUHADHOROH
Agenda ini dilakukan satu kali dalam
rentang waktu satu minggu. Isi agendanya berupa pidato bahasa Inggris,
Arab, dan Indonesia. Setelah itu ada agenda tambahan berupa hiburan
teatrikal persembahan santri. Dan digilir tiap kamar di dalam asrama.
KITAB JURUMIYAH
Ini adalah kitab yang digunakan untuk
belajar gramatikal bahasa Arab. Ukurannya sama seperti kertas Folio.
Berwarna kuning. Berisi tulisan Arab, hanya saja tulisan Arab yang tidak
ada tanda bacanya alias Arab gundul. Kiai yang mengajari mengeja kata
per kata kemudian diartikan kedalam bahasa Indonesia sekalian para
santri belajar menambahkan tanda baca pada tulisan Arab yang ada. Sangat
kental sekali istilah Na’at Man’ut, Jar Majrur, Itsim Mutsanna, Itsim Muannas, Itsim Mudzakkar.
HARI BERBAHASA ARAB & HARI BERBAHASA INGGRIS
Ada suatu hari yang ditentukan kepada
semua santri untuk berbahasa Arab. Begitupun berbahasa Inggris. Sangat
berguna sekali untuk memperlancar kemampuan santri dalam berkomunikasi
menggunakan bahasa non-Indonesia.
RUTINITAS HARIAN
Untuk rutinitas harian, santri laki-laki
(santriwan) dan santri perempuan (santriwati) selalu dipisah dalam
segala aktifitasnya, begitupun asrama dan ruang kelas. Pagi-pagi
berangkat sekolah untuk belajar ilmu agama dan ilmu dunia. Selepas
dzuhur istirahat sampai ashar. Selepas ashar sampai maghrib baru kembali
beraktifitas dengan segudang pilihan olah tubuh. Tak lupa pula sesaat
menjelang maghrib diisi dengan wirid alma’tsurat. Dulunya memang terlihat seperti tidak mungkin alma’tsurat
itu di hafalkan. Dan pada kenyataannya memang saya tidak pernah
menghafalnya. Dengan sendirinya bacaan wirid itu melekat di kepala
seiring dengan bertambahnya tingkat kerutnan dalam membacanya.
Ada hal yang sangat berkesan diantara waktu maghrib dan isya’. Begitupun selepas subuh jika tidak ada agenda Muhadatsah. Yaitu para santri menghafal Al-Qur’an. Tak terasa juz demi juz berhasil
dihafal. Cita-cita yang terpatri di diri santri pada waktu itu adalah
“Aku harus menjadi seorang hafidz”. Dengan cita-cita yang begitu mulia
serta lingkungan yang sangat kondusif, santri terus termotivasi untuk
mengembangkan dirinya. Walau memang ada sedikit
penyimpangan-penyimpangan gejolak kaum muda, tapi itu bisa
terkondisikan. Tidak terlalu berlarut-larut. Kadang saya berfikir,
dengan lingkungan yang kondusif dan interaksi antara
santriwan-santriwati yang minim, ternyata bisa meningkatkan ghiroh beramal.
Setelah bertahun lamanya saya berpisah dari dunia kepesantrenan,
mungkin hal inilah yang terlupakan. Bisa jadi berkurangnya ghiroh
beramal kita dikarenakan terlalu banyak memikirkan tentang materil
serta terlalu sibuk menata hati yang sedang diliputi syahwat sesaat
hingga lupa terhadap tugas pokok sebagai seorang muslim.
SANTRI DAN GLOBALISASI
Globalisasi adalah sebuah masa dimana
manusia terhubung tanpa melihat batas territorial Negara. Hubungan yang
terjalin biasanya hubungan dagang antar Negara, hubungan karena adanya
perjalanan melintasi benua, hubungan karena penyebaran budaya, dan
bentuk hubungan lainnya yang membuat batas Negara seakan tidak terlihat.
Menurut Thomas L. Friedman, Globlisasi
memiliki dimensi ideologi dan teknlogi. Dimensi ideologi yaitu
kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan dimensi teknologi adalah
teknologi informasi yang telah menyatukan dunia. Seperti yang diketahui,
pertengahan abad 20 menjadi momen penting dimana globalisasi sebagai
proses bisa berkembang dengan cepat. Melirik definisi globalisasi yang
diutarakan Thomas, bahwa telah terjadi ledakan dalam dimensi teknologi,
ditandai dengan kemunculan internet sebagai suatu hal yang membuat arus
informasi dari seluruh penjuru dunia mengalir sangat cepat, disamping
dimensi ideologi kapitalis yang dibawa sehingga sangat menguntungkan
para pemodal. Hal ini tentunya juga berpengaruh terhadap kehidupan
santri.
Salah satu contohnya adalah kurikulum
pesantren yang tentunya langsung berhubungan dengan proses belajar
santri. Kalau ingin dikaitkan dengan bahasan sebelumnya, modernisasi
pesantren dalam tataran kurikulum rupanya termasuk dari dampak
globalisasi. Dimana ummat islam harus mencari cara agar anak mudanya
tidak menjadi kuno di eranya. Maka dari itu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
pasti mulai dimunculkan dan dimasukkan ke dalam satuan pembelajaran
dengan tetap diiringi ilmu agama. Tujuan dan harapannya tak lain agar
santri lebih mudah beradaptasi dan mampu menjalankan amanat huruf “RO”
yang menyusunnya, yaitu Roisul Ummah.
Dilihat dari segi komunikasi, sudah mulai
bertebaran alat komunikasi di genggaman santri era global ini. Dengan
adanya alat komunikasi tentunya semakin mudah santri untuk berhubungan
dengan orang lain, termasuk dengan lawan jenisnya. Karenanya, mungkin
sekarang tak asing lagi jika komunikasi antara santriwan dan santriwati
bisa terlihat sangat cair. Biasanya, suasana cair tersebut terlihat di
media-media sosial, tapi gagap ketika bertemu tatap muka. Tapi hal
tersebut cenderung terjadi kepada santriwan-santriwati di masa-masa awal
proses globalisasi, menuju proses globalisasi yang lebih matang,
bermunculanlah VCD/CD film yang mempertontonkan ketidak canggungan
interaksi lawan jenis, wal hasil, santriwan dan santriwati pun semakin pintar
dalam berkomunikasi. Seperti itulah santri di era global ini. Walau
saya tidak menafikan bahwa masih ada santri yang menjaga imunitasnya dan
terus memperkuat imunitasnya. Apakah itu semua terjadi hanya kepada
santri ? Tentu tidak. Banyak kalangan muda yang non-santri mengalami hal
serupa. Tetapi setidaknya dengan menjadi santri sudah terminimalisirlah
resiko-resiko negatif yang ada.
MASIH ADAKAH SIN, NUN, TA, RO ?
Duhai kawan-kawan yang pernah merasakan
nikmat dan indahnya kehidupan pesantren, bahwa sesungguhnya Alloh pasti
menguji orang yang dicintainya. Saya teringat kepada sebuah syair yang
ditulis oleh seorang Mujahidin Iraq, Abu Mush’ab Az-Zarqawi.
Bersabarlah dalam mengahadapi kengerian !Karena kelak engkau akan memetik buahnyaSabar hanyalah milik orang-orang yang muliaDan dari sabar itu Alloh tumbuhkan ketenangan
“Sungguh, kami telah
menguji orang-orang sebelum mereka. Maka Alloh pasti menegetahui
orang-orang yang jujur (benar) dan pasti mengetahui orang-orang yang
dusta.” (Al-Ankabut : 3)
Memang sangat berat tantangan globalisasi
yang menghampiri kita. Segalanya bisa berubah dengan cepat jika
imunitas yang telah ditancapkan oleh para Asatidz semakin hari
semakin melemah dan semakin diperlemah dengan kebodohan karena
ketidaktahuan kita terhadap suatu perkara dunia dalam sudut pandang
syari’at Islam.
Memang berat manakala diri kita
menanggung keterasingan sebagai cap dari masyarakat sekitar dikala kita
mengamalkan sikap kesantrian kita yang telah dibentuk oleh para Asatidz di pesantren. Ibnu Taimiyah pun berkata tentang keterasingan, “bisa
jadi keterasingan itu terjadi pada sebagian syari’atNya, atau pada
sebagian wilayah. Misalnya saja di sebuah wilayah, syariat-syariat Alloh
tidak diketahui banyak orang, sehingga para pengamalnya pun merasa
terasingdi tengah-tengah masyarakat tersebut. Tidak ada yang mengerti
disyariatkannya amal tersebut kecuali satu atau dua orang saja.”
Duhai kawan-kawan ku sesama santri.
Ternyata baru ku sadari bahwa sang penanggung keterasingan adalah sang
penghidup zaman. Keterasingan, bahkan kesendirian, merupakan jalan hidup
para nabi dan rosul sejak dulu kala. Sebagaimana sabda Rosul, “Islam
datang dalam keadaan terasing dan akan kembali asing sebagaimana
datangnya. Maka berbahagialah orang-orang yang terasing.” (HR. Muslim).
Duhai kawan-kawan ku sesama santri. Imun
yang bisa kita gunakan di era ini dan saat ini juga adalah kesabaran.
Sama seperti yang dulu nabi-nabi gunakan. Tanpa sabar, mustahil agama
seseorang bisa selamat. Itulah kenapa Nabi SAW menyebut hari-hari
keterasingan sebagai hari-hari kesabaran.
Setalah bersabar, maka perkuatlah
kesabaran itu dengan keyakinan. Karena dengan sabar dan yakin, akan
membuat hati kita menjadi tenang. Dengan kayakinan bahwa Alloh yang
memerintahkan kita untuk mengerjakan amal-amal soleh, insya Alloh, akan
ditambahkan olehNya keyakinan kita akan apa yang kita lakukan sehingga
hati kita pun menjadi semakin tenang. Seperti yang Alloh sampaikan, “Dialah
yang telah menurunkan ketenangan kedalam hati orang-orang mukmin,
supaya keimanan mereka bertambah, disamping keimanan mereka (yang telah
ada). Dan kepunyaan Alloh lah tentara langit dan bumi, dan Alloh maha
mengetahui lagi maha bijaksana.” (Al-Fath :4).
Terakhir, saya ingat kepada sebuah ayat yang sering dibacakan oleh Ustadz saya di sebuah bilik bambu yang berdiri tegak dipinggir empang dan ditengah rimbunnya pepohonan, “Hai
ornag-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan solat sebagai penolong
mu, sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqoroh :
153).
Harapan bagi santri untuk menjadi SIN,
NUN, TA, RO tetap terbuka lebar, ketika santri menjadikan sabar sebagai
tamengnya dan selalu memperkuat kesabarannya dalam menghadapi perubahan
zaman dengan segala likunya.
Teringatkah kita dengan kisah perang Uhud, dimana tentara pemanah tidak sabar menahan dirinya untuk ikut membantu pasukan dalam mengumpulkan Ghanimah ?
Sabar dalam memulai, sabar dalam pelaksanaannya, dan sabar setelah semuanya usai dilaksanakan.
Daftar Pustaka . http://doupafia.wordpress.com/2013/04/04/kontemplasi-seorang-santri/
0 komentar:
Posting Komentar