KONFLIK SOSIAL & INTEGRASI SOSIAL
MMATERI AJAR IPS KELAS 8 SMP/MTS
Konflik Sosial
Soerjono Soekanto mendefinisikan konflik sebagai suatu proses sosial ketika seseorang atau sekelompok orang berusaha mencapai tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan disertai ancaman atau kekerasan.
a. Sebab Terjadinya Konflik Sosial
Faktor penyebab konflik sosial sebagai berikut.
1) Perbedaan keyakinan dan pendirian.2) Perbedaan kebudayaan antarkelompok masyarakat.3) Perbedaan kepentingan antarindividu/ kelompok.4) Kesenjangan sosial mengenai tingkat kesejahteraan.5) Ketidaksiapan masyarakat menerima perubahan sosial.
b. Dampak Terjadinya Konflik Sosial
Konflik sosial dapat memunculkan dampak dampak dan positif negatif berikut.
a. Dampak Negatif
1) Menimbulkan perpecahan.
2) Melumpuhkan roda perekonomian.
3) Meningkatkan keresahan masyarakat.
4) Menyebabkan kerusakan sarana dan prasarana umum.
5) Menghancurkan harta benda dan menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
6) Merusak struktur sosial.
b. Dampak Positif
1) Memunculkan norma baru.
2) Meningkatkan solidaritas kelompok.
3) Meningkatkan kekuatan pribadi untuk menghadapi berbagai situasi konflik.
4) Mendorong kesadaran kelompok yang berkonflik untuk melakukan kompromi.
c. Proses Sosial dalam Penyelesaian Konflik
Konflik hendaknya segera diselesaikan agar kehidupan masyarakat kembali teratur. Dengan demikian, disintegrasi sosial dapat dicegah. Proses penyelesaian konflik disebut akomodasi. Akomodasi dapat dilakukan melalui berbagai metode penyelesaian konflik. Penggunaan metode penyelesaian konflik disesuaikan dengan tipe konflik, besarnya konflik, dan dampak yang ditimbulkan.
Adapun beberapa metode penyelesaian konflik sebagai berikut.
- Koersi (coercion) yaitu bentuk akomodasi melalui paksaan fisik atau psikologis.
- Kompromi (compromise) yaitu pihak-pihak yang terlibat dalam konflik saling mengurangi tuntutan untuk mencapai suatu penyelesaian.
- Arbitrase (arbitration) yaitu cara untuk mencapai sebuah kompromi melalui pihak ketiga majelis arbitrase yang bersifat formal karena pihak-pihak yang bertikai tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri.
- Mediasi (mediation) yaitu akomodasi melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral dan tidak berwenang mengambil putusan masalah.
- Negosiasi (negotiation) yaitu proses komunikasi dua atau lebih pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan permasalahan dengan mencapai penyelesaian yang diterima semua pihak.
- Konsiliasi (conciliation) yaitu usaha mempertemukan pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai suatu kesepakatan. Konsiliasi merupakan mediasi yang bersifat lebih formal. Keputusan pihak ketiga dalam konsiliasi bersifat tidak mengikat.
- Rekonsiliasi (reconciliation) yaitu usaha menyelesaikan konflik pada masa lalu sekaligus memperbarui hubungan ke arah perdamaian yang lebih harmonis.
- Stalemate yaitu proses akomodasi yang terjadi karena kedua belah pihak memiliki kekuatan seimbang sehingga pertikaian berhenti dengan sendirinya.
- Transformasi konflik (conflict transformation) yaitu upaya penyelesaian konflik dengan mengatasi akar penyebab konflik sehingga dapat mengubah konflik yang bersifat destruktif menjadi konflik konstruktif.
- Ajudikasi (ajudication) yaitu penyelesaian konflik di pengadilan.
- Segregasi (segregation) yaitu tiap-tiap pihak memisahkan diri dan saling menghindar untuk mengurangi ketegangan.
- Eliminasi (elimination) yaitu salah satu pihak yang berkonflik memutuskan mengalah atau mengundurkan diri dari konflik.
- Subjugation atau domination yaitu pihak yang mempunyai kekuatan lebih kuat dan dominan meminta pihak yang lebih lemah untuk memenuhi keinginannya.
- Keputusan mayoritas (majority rule) yaitu keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak atau melakukan voting.
Kekerasan Sosial
a. Konsep Kekerasan Sosial
Istilah kekerasan berasal dari bahasa Latin ’violentus’, yang berarti keganasan, kebengisan, kadahsyatan, kegarangan, aniaya, dan pemerkosaan
(Fromm, 2000). Tindak kekerasan, menunjuk kepada tindakan yang dapat merugikan orang lain, misalnya: pembunuhan, penjarahan, pemukulan, dan lain-lain.
Soerjono Soekanto (2002: 98), mengartikan kekerasan (violence) sebagai penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Selain penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, kekerasan juga bisa berupa ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak (Narwoko dan Suyanto, 2000: 70). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa tindak kekerasan merupakan perilaku sengaja maupun tidak sengaja yang ditunjukan untuk merusak orang atau kelompok lain, baik berupa serangan fisik, mental, sosial, maupun ekonomi yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat sehingga berdampak pada kerusakan hingga trauma psikologis bagi korban.
b. Bentuk-Bentuk Kekerasan
Kekerasan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tindak kekerasan seolah-olah telah melekat dalam diri seseorang guna mencapai tujuan hidupnya. Tidak mengherankan, jika semakin hari kekerasan semakin meningkat dalam berbagai macam dan bentuk. Galtung (1996: 203) mencoba menjawab dengan membagi tipologi kekerasan menjadi 3 (tiga), yaitu:
- Kekerasan Langsung. Kekerasan langsung biasanya berupa kekerasan fisik, disebut juga sebagai sebuah peristiwa (event) dari terjadinya kekerasan. Kekerasan langsung terwujud dalam perilaku, misalnya: pembunuhan, pemukulan, intimidasi, penyiksaan. Kekerasan langsung merupakan tanggungjawab individu, dalam arti individu yang melakukan tindak kekerasan akan mendapat hukuman menurut ketentuan hukum pidana.
- Kekerasan Struktural (kekerasan yang melembaga). Disebut juga sebuah proses dari terjadinya kekerasan. Kekerasan struktural terwujud dalam konteks, sistem, dan struktur, misalnya: diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, pelayanan kesehatan. Kekerasan struktural merupakan bentuk tanggungjawab negara, dimana tanggung jawab adalah mengimplementasikan ketentuan konvensi melalui upaya merumuskan kebijakan, melakukan tindakan pengurusan.administrasi, melakukan pengaturan, melakukan pengelolaan dan melakukan pengawasan. Muaranya ada pada sistem hukum pidana yang berlaku.
- Kekerasan Kultural. Kekerasan kultural merupakan suatu bentuk kekerasan permanen. Terwujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, misalnya: kebencian, ketakutan, rasisme, intoleran, aspek-aspek budaya, ranah simbolik yang ditunjukkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, serta ilmu pengetahuan. Beberapa ahli menyebut tipe kekerasan seperti ini sebagai kekerasan psikologis.
Dalam pandangan Bourdieu (Martono, 2009) kekerasan struktural dan kultural dapat dikategorikan sebagai kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik adalah mekanisme komunikasi yang ditandai dengan relasi kekuasaan yang timpang dan hegemonik di mana pihak yang satu memandang diri lebih superior entah dari segi moral, ras, etnis, agama ataupun jenis kelamin dan usia. Tiap tindak kekerasan pada dasarnya mengandaikan hubungan dan atau komunikasi yang sewenang-wenang di antara dua pihak. Dalam hal kekerasan simbolik hubungan tersebut berkaitan dengan pencitraan pihak lain yang bias, monopoli makna, dan pemaksaan makna entah secara tekstual, visual, warna Contoh: sebutan ”hitam” bagi kelompok kulit hitam, sebutan ”bodoh” bagi siswa yang tidak naik kelas, atau sebutan ”miskin” untuk menunjuk orang tidak mampu secara ekonomi, dan seterusnya.
Jika dilihat berdasarkan pelakunya, kekerasan juga dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu: kekerasan individual dan kekerasan kolektif. Kekerasan individual, adalah kekerasan yang dilakukan oleh individu kepada satu atau lebih individu. Contoh: pencurian, pemukulan, penganiayaan, dan lain-lain. Sedangkan kekerasan kolektif, merupakan kekerasan yang dilakukan oleh banyak individu atau massa. Contoh: tawuran pelajar, bentrokan antar desa. Kekerasan kolektif dapat disebabkan oleh larutnya individu dalam kerumunan, sehingga seseorang menjadi tidak lagi memiliki kesadaran individual atau hilang rasionalitas. Kerusuhan sepak bola mungkin contoh yang tepat untuk kekerasan yang satu ini. Selain juga “penghakiman massa” terhadap pencuri atau pelaku kejahatan jalanan.
Klasifikasi lain dikemukakan oleh Sejiwa (2008: 20), yang membagi bentuk kekerasan ke dalam dua jenis, yaitu: kekerasan fisik dan kekerasan non-fisik. Kekerasan fisik yaitu jenis kekerasan yang kasat mata. Artinya, siapapun bisa melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya. Contohnya adalah: menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, dan sebagainya. Sedangkan kekerasan non fisik yaitu jenis kekerasan yang tidak kasat mata. Artinya, tidak bisa langsung diketahui perilakunya apabila tidak jeli memperhatikan, karena tidak terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya.
Kekerasan non fisik ini dibagi menjadi dua, yaitu kekerasan verbal dan kekerasan psikis. Kekerasan verbal: kekerasan yang dilakukan lewat kata- kata. Contoh: membentak, memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memfitnah, menyebar gosip, menuduh, menolak dengan kata-kata kasar, mempermalukan di depan umum dengan lisan, dan lain-lain. Sementara itu kekerasan psikologis/psikis merupakan kekerasan yang dilakukan lewat bahasa tubuh. Contoh: memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan, mendiamkan, mengucilkan, memandang yang merendahkan, mencibir dan memelototi.
c. Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Tindak Kekerasan
Banyaknya tindak kekerasan yang terjadi di masyarakat menimbulkan rasa keprihatinan yag mendalam dalam diri anggota masyarakat. Setiap kekerasan yang terjadi, tidak sekedar muncul begitu saja tanpa sebab-sebab yang mendorongnya. Oleh karena itu, para ahli sosial berusaha mencari penyebab terjadinya kekerasan dalam rangka menemukan solusi tepat mengurangi kekerasan.
Menurut Thomas Hobbes, kekerasan merupakan sesuatu yang alamiah dalam diri manusia. Dia percaya bahwa manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional, anarkis, saling iri, serta benci sehingga menjadi jahat, buas, kasar dan berpikir pendek. Hobbes mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia (homo homini lupus). Oleh karena itu, kekerasan adalah sifat alami manusia. Dalam ketatanegaraan, sikap kekerasan digunakan untuk menjadikan warga takut dan tunduk kepada pemerintah. Bahkan Hobbes berprinsip bahwa hanya suatu pemerintahan negara yang menggunakan kekerasan terpusat dan memiliki kekuatanlah yang dapat mengedalikan situasi dan kondisi bangsa.
Sedangkan J. J. Rosseau mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia itu polos, mencintai diri secara spontan, serta tidak egois. Peradaban serta kebudayaanlah yang menjadikan manusia kehilangan sifat aslinya. Manusia menjadi kasar dan kejam terhadap orang lain. Dengan kata lain kekerasan yang dilakukan bukan merupakan sifat murni manusia.
Terlepas dari kedua tokoh tersebut, ada beberapa faktor yang dapat memicu timbulnya kekerasan, yaitu sebagai berikut :
- Faktor Individual Beberapa ahli berpendapat bahwa setiap perilaku kelompok, termasuk perilaku kekerasan, selalu berawal dari perilaku individu. Faktor penyebab dari perilaku kekerasan adalah faktor pribadi dan faktor sosial. Faktor pribadi meliputi kelainan jiwa. Faktor yang bersifat sosial antara lain konflik rumah tangga, faktor budaya dan faktor media massa.
- Faktor Kelompok. Individu cenderung membentuk kelompok dengan mengedepankan identitas berdasarkan persamaan ras, agama atau etnik. Identitas kelompok inilah yang cenderung dibawa ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Benturan antara identitas kelompok yang berbeda sering menjadi penyebab kekerasan.
- Faktor Dinamika Kelompok. Menurut teori ini, kekerasan timbul karena adanya deprivasi relatif yang terjadi dalam kelompok atau masyarakat. Artinya, perubahan-perubahan sosial yang terjadi demikian cepat dalam sebuah masyarakat tidak mampu ditanggap dengan seimbang oleh sistem sosial dan masyarakatnya. Dalam konteks ini munculnya kekerasan dapat terjadi oleh beberapa hal yaitu sebagai berikut :
- Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kekerasan yang disebabkan oleh struktur sosial tertentu.
- Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan ini tidak cukup menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi juga menjadi pendorong terjadinya kekerasan.
- Berkembangnya perasaan kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu. Sasaran kebencian itu berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa yang memicu kekerasan.
- Mobilisasi untuk beraksi, yaitu tindakan nyata berupa pengorganisasi diri untuk bertindak. Tahap ini merupakan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan terjadinya kekerasan.
- Kontrol sosial, yaitu tindakan pihak ketiga seperti aparat keamanan untuk mengendalikan, menghambat, dan mengakhiri kekerasan.
Tindakan kekerasan akan berdampak negatif seperti kerugian baik material maupun nonmaterial. Menghentikan kekerasan tentu tidak dapat dilakukan hanya oleh beberapa pihak. Pemerintah sebagai pemilik kekuasaan dalam negara memang selayaknya menjadi pemimpin dalam upaya menghentikan kekerasan. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa kekerasan bukan solusi untuk sebuah permasalahan, tetapi menciptakan permasalahan baru. Pemerintah juga perlu memberikan contoh dan bukti nyata bahwa kekerasan tidak layak untuk dilakukan di sebuah negara merdeka dan demokratis. Di sisi lain, masyarakat juga harus melakukan fungsi pencegahan untuk lebih peduli terhadap ketenteraman lingkungan menuju kehidupan sosial yang damai dan harmonis.
Integrasi Sosial
Integrasi sosial terjadi ketika unsur-unsur dalam masyarakat saling berhubungan secara intensif di berbagai bidang kehidupan. Akibatnya, terjadi pembauran beberapa unsur berbeda dan setiap unsur dalam masyarakat dapat bekerja sama dengan unsur lain.
a. Proses Terwujudnya Integrasi
Proses terwujudnya integrasi sosial diawali dengan terjadinya konflik
dalAm masyarakat. Konflik tersebut kemudian diredam melalui akomodasi. Akomodasi tersebut menghasilkan koordinasi antarpihak yang berkonflik untuk bersatu. Tahap terakhir ialah terjadi asimilasi antarpihak yang menjalin koordinasi.
b. Sifat Integrasi Sosial
Menurut Paulus Wirutomo (2012), integrasi sosial dibedakan menjadi tiga sifat berikut.
- Integrasi normatif yaitu integrasi yang terbentuk karena adanya kesepakatan nilai, norma, cita-cita bersama, dan rasa solidaritas antaranggota masyarakat. Integrasi normatif biasanya terjadi pada masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis (masyarakat sederhana). Integrasi ini berkaitan dengan unsur-unsur budaya sehingga sering disebut integrasi budaya.
- Integrasi fungsional yaitu integrasi yang terbentuk berdasarkan kerangka perspektif fungsional, yaitu melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang terintegrasi. Integrasi fungsional biasanya berkembang dalam masyarakat yang memiliki tingkat spesialisasi kerja tinggi.
- Integrasi koersif yaitu integrasi yang terjadi tidak berasal dari hasil kesepakatan normatif ataupun ketergantungan fungsional. Integrasi koersif merupakan hasil kekuatan yang mengikat masyarakat secara paksa. Integrasi koersif terjadi karena paksaan dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.
c. lntegrasi dan Kerukunan
Masyarakat majemuk rawan terjadi disintegrasi sosial. Oleh karena itu, diperlu- kan upaya untuk mewujudkan kerukunan dalam masyarakat. Menurut Paulus Wirutomo (2012), kerukunan yang akan menciptakan integrasi sosial memiliki beberapa konsep sebagai berikut:
- Integration (integrasi) yaitu keutuhan atau persatuan. Konsep ini mengolaborasikan antara integrasi nasional dan integrasi sosial. Apabila integrasi sosial terjalin dengan baik, integrasi nasional dapat dipertahankan.
- Equilibrium (keseimbangan) yaitu keadaan seimbang dan tidak terjadi kesenjangan yang menimbulkan gejolak.
- Stability (stabilitas) yaitu keadaan tenang, mantap, dan mapan. Stability bersifat tidak dinamis karena adanya kelompok penguasa yang memaksakan stabilitas tersebut.
- The absence of conflict (keadaan nyaris tanpa konflik) yaitu keadaan yang terjadi karena adanya kekuatan yang menekan kelompok- kelompok agar tidak berkonflik. Konflik sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Oleh karena itu, keadaan ini bersifat semu dan tidak realistis.
- Tolerance (toleransi) yaitu sikap menahan diri, menerima keadaan, dan tidak menyerang pihak lain. Akan tetapi, kerukunan yang dihasilkan masih bersifat dangkal dan tidak akan berkembang.
- Solidarity (kesetiakawanan) yaitu kondisi yang lebih baik daripada toleransi. Kondisi ini ditandai dengan adanya sikap saling membantu dan bersatu dalam kerukunan masyarakat.
- Conformity (keteraturan) yaitu kepatuhan anggota masyarakat sehingga menimbulkan suasana rukun.
- Peace (kedamaian) yaitu kondisi tidak berselisih dan bersifat rukun, tetapi bersifat pasif.
- Cohesion (kohesi) yaitu kondisi kesatuan yang kuat, terdapat kerja sama, dan kekompakan. Akan tetapi, dalam kondisi ini terdapat nuansa fanatik kelompok.
- Compromise (kompromi) yaitu keadaan saling mengalah untuk menghindari konflik.
- Harmony (harmoni) yaitu keadaan yang menunjukkan adanya perbedaan sosial budaya, namun bersifat serasi.
- Solidity (kekukuhan/kekuatan) yaitu keadaan rukun yang memiliki daya tahan sehingga tidak mudah goyah atau dipengaruhi oleh pihak lain.
- Sinergy (sinergi) yaitu bersepakat dan bersatu dalam perbedaan. Semua pihak berlawanan menggabungkan kekuatan untuk menghasilkan kekuatan berlipat ganda. Sinergi ini bersifat win-win solution.
d. Faktor Pendorong dan Penghambat Integrasi Sosial
Proses integrasi sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor pendorong dan penghambat sebagai berikut:
1) Faktor Pendorong Integrasi Sosial
Berikut beberapa faktor pendorong integrasi sosial.
a) Rasa ingin memiliki.
b) Konsensus.
c) Cross-cutting affiliations.
d) Cross-cutting loyalities.
e) Kesediaan berkorban demi kebaikan bersama.
2) Faktor Penghambat Integrasi Sosial
Faktor penghambat integrasi sosial sebagai berikut:
a) Kondisi masyarakat yang terisoIasi.
b) Masyarakat kurang memiliki ilmu pengetahuan.
c) Terdapat perasaan superior salah satu kelompok.
e. Bentuk-bentuk Integrasi Sosial
- Integrasi normatif, akibat adanya norma yang berlaku di masyarakat seperti prinsip Bhineka Tunggal Ika
- Integrasi fungsional, terbentuk karena fungsi- fungsi tertentu dalam masyarakat. Misalnya suku bugis yang suka melaut difungsikan sebagai penyedia hasil-hasil laut.
- Integrasi koersif, terbentuk berdasarkan kekuasaan yang dimiliki penguasa. Dalam hal ini penguasa melakukan cara-cara kekerasan (koersif).
Masyarakat Multikultural
Masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai masyarakat yang memiliki beraneka ragam kebudayaan. Masyarakat multikultural menekankan pada keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan atau kesetaraan. Artinya, tidak ada posisi superior dan inferior antaretnik, ras, jenis kelamin, serta agama.
a. Latar Belakang Terbentuknya Masyarakat Multikultural
Terbentuknya masyarakat multikultural dilatarbelakangi oleh berbagai faktor berikut.
1) Bentuk Wilayah dan Kenampakan Alam
Indonesia merupakan negara kepulauan. Pulau-pulau yang menjadi tempat tinggal masyarakat Indonesia dihubungkan oleh selat dan laut. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya kemajemukan masyarakat Indonesia. Adapun kenampakan alam merupakan segala sesuatu yang tampak di permukaan bumi atau alam. Kenampakan alam, misalnya daerah dataran tinggi dan dataran rendah.
2) Perbedaan Iklim
Setiap daerah memiliki iklim berbeda-beda. Iklim di suatu daerah dipengaruhi letak geografis dan topografi daerah tersebut. Iklim berpengaruh besar terhadap pola kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Perbedaan iklim menyebabkan perbedaan pola kehidupan antarmasyarakat di setiap daerah. Sebagai contoh, pola kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah tropis berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah subtropis.
3) Letak Geografis
Letak geografis merupakan letak suatu negara atau wilayah di permukaan bumi. Sebagai contoh, Indonesia terletak pada posisi silang di antara dua benua dan dua samudra. Letak strategis ini menyebabkan banyak bangsa asing singgah di Kepulauan Indonesia. Akibatnya, terjadi proses akulturasi, asimilasi, atau amalgamasi sehingga budaya di Indonesia semakin beragam.
b. Ciri-Ciri Masyarakat Majemuk dan Masyarakat Multikultural
Pembentukan masyarakat multikultural didahului dengan terbentuknya masyarakat majemuk. Adapun ciri-ciri masyarakat majemuk sebagai berikut.
1) Mengalami segmentasi dalam kelompok-kelompok dengan subkebudayaan berbeda.
2) Memiliki struktur sosial yang terbagi dalam lembaga-lembaga nonkomplementer atau tidak memiliki hubungan keterkaitan.
3) Kurang mengembangkan konsensus di antara anggotanya terhadap nilai- nilai yang bersifat mendasar.
4) Relatif sering terjadi konflik antarsatu kelompok dengan kelompok lain.
5) Integrasi dapat terjadi meskipun melalui proses paksaan.
6) Terjadi dominasi politik suatu kelompok terhadap kelompok lain atau alienasi terhadap kelompok lain yang dianggap lemah.
Ciri-ciri masyarakat multikultural cenderung berupa ciri positif dari masyarakat majemuk seperti memiliki rasa toleransi dan menghargai perbedaan yang tinggi, bersifat inklusif, serta tingginya kesadaran dalam berintegrasi.
c. Bentuk-Bentuk Keanekaragaman dalam Masyarakat Multikultural
Berdasarkan proses pembentukannya, keanekaragaman masyarakat dapat tercipta dari proses alami serta proses buatan. Adapun keanekaragaman yang dimaksud sebagai berikut.
1) Keanekaragaman etnik/suku bangsa menunjukkan kelompok manusia yang memiliki kesamaan latar belakang budaya dan terikat oleh kesadaran serta identitas. Faktor yang membedakan antara suku bangsa satu dan suku bangsa lain, yaitu daerah asal, adat istiadat, sistem kekerabatan, bahasa daerah, serta kesenian daerah.
2) Keanekaragaman agama merujuk pada berbagai agama yang dianut oleh masyarakat. Pemerintah Indonesia mengakui enam agama yang dianut masyarakat yaitu Hindu, Buddha, Islam, Katolik, Kristen, dan Konghucu. Selain itu, pemerintah mengakui terdapat beragam aliran kepercayaan lokal yang dianut oleh beberapa suku bangsa di Indonesia.
3) Keanekaragaman ras menunjukkan pengelompokan manusia berdasarkan perbedaan segi fisik dan ciri-ciri tubuh. Ras dapat dibedakan atas dasar ciri kualitas dan kuantitas. Ciri kualitas meliputi warna kulit, bentuk rambut, ada atau tidaknya lipatan mata, dan bentuk bibir. Ciri-ciri ras berdasarkan kuantitas meliputi tinggi badan, berat badan, dan indeks ukuran kepala.
4) Keanekaragaman profesi/mata pencaharian. Profesi berkaitan dengan pekerjaan yang membutuhkan kemampuan dan pengetahuan khusus. Adapun mata pencaharian me- rupakan pekerjaan masyarakat berkaitan
dengan aktivitas mengolah potensi alam. Profesi dan mata pencaharian merupakan kegiatan individu untuk mencari nafkah dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup. Seiring perkembangan zaman, profesi baru semakin banyak bermunculan.
Berdasarkan konfigurasi dan komunitas etnik, J.S. Furnivall (Nasikun, 2004) membedakan masyarakat majemuk dalam empat kategori/bentuk sebagai berikut:
1) Masyarakat majemuk dengan fragmentasi, terdiri atas kelompok etnik kecil sehingga tidak memiliki posisi dominan dalam aspek kehidupan masyarakat seperti aspek politik dan ekonomi.
2) Masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang, terdiri atas sejumlah kelompok sosial yang mempunyai kekuatan kompetitif dan seimbang.
3) Masyarakat majemuk dengan minoritas dominan, artinya kelompok minoritas memiliki keunggulan kompetitif sehingga mendominasi beberapa aspek kehidupan seperti aspek politik dan ekonomi masyarakat.
4) Masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan terdiri atas sejumlah kelompok yang mendominasi, baik dari segi jumlah maupun pengaruh terhadap kelompok lain dengan kekuatan kompetitif tidak seimbang.
d. Hubungan Antar kelompok dalam Masyarakat Multikultural
Hubungan antarkelompok dalam masyarakat multikultural bersifat dinamis. Hubungan sosial antarkelompok dalam masyarakat multikultural dapat diibaratkan seperti puzzle atau permainan bongkar pasang. Setiap bagian terlihat banyak perbedaan, tetapi ketika disatukan dapat membentuk satu kesatuan utuh dan saling melengkapi.
Hubungan sosial antarkelompok dalam masyarakat multikultural menghasilkan berbagai konsekuensi sosial yang dapat diamati dan dipelajari. Adapun konsekuensi tersebut sebagai berikut:
1. Asimilasi
Asimilasi adalah proses pembauran dua kebudayaan disertai dengan hilangnya ciri khas tiap-tiap kebudayaan sehingga membentuk/ menghasilkan kebudayaan baru.
2. Interseksi
Interseksi yaitu suatu titik potong atau pertemuan keanggotaan kelompok sosial dari berbagai seksi meliputi agama, suku bangsa, jenis kelamin, dan kelas sosial. Interseksi dapat terjadi melalui kerja sama dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial.
Interseksi terbentuk melalui interaksi sosial melalui sarana pergaulan dalam kebudayaan masyarakat antara lain antara bahasa, kesenian, sarana transpor, pasar, sekolah dan Iain-Iain, yang berbeda latar belakang ras, agama, suku, jenis kelamin, tingkat ekonomi, pendidikan, yang bersama-sama menjadi anggota kelompok sosial tertentu atau penganut agama tertentu. Perbedaan tersebuat saling menyilang satu sama lain Mempunyai akibat: 1) Meningkatkan solidaritas; Memperkuat hubungan anatar anggota dengan mengabaikan perbedaan vertikal dan horizontal di antara mereka. Misalnya; perkumpulan penggemar bola yang mengabaikan perbedaan suku, ras, agama yang mereka anut ketika berkumpul dengan kelompoknya; 2) Menimbulkan potensi konflik; Perbedaan yang mereka miliki lebih menonjol dan semakin tajam. Contohnya: contoh konflik yang terjadi dalam kompleks perumahan. Mereka berasal dari latar belakang dan sosial budaya yang berbeda-beda.
3. Integrasi
Integrasi adalah proses penyatuan unsur-unsur berbeda dalam masyarakat multikultural. Ciri integrasi yaitu setiap anggota saling mengisi kebutuhan satu sama lain serta mampu menciptakan kesepakatan nilai dan norma sosial dalam masyarakat.
4. Konsolidasi
Konsolidasi adalah upaya meningkatkan solidaritas masyarakat dengan mempertegas status keanggotaan seseorang. Dampak positif dari konsolidasi ialah menguatkan indentitas antarindividu sebagai bagian dari kelompok/masyarakat. Meskipun demikian, konsolidasi juga dapat berpotensi menimbulkan konflik apabila penegasan yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lain menyebabkan etnosentrisme secara berlebihan. Struktur sosial yang terkonsolidasi berfungsi menghambat
terjadinya penguatan identitas dalam batas-batas tertentu yang akan mempertajam prasangka antara ras, suku, agama yang berbeda. Prasangka semakin tajam dengan perbedaan peluang dalam kesempatan ekonomi dan poiitik.
5. Mutual Akulturasi
Mutual akulturasi merupakan keterbukaan suatu kelompok terhadap kebudayaan baru dari kelompok lain. Mutual akulturasi merupakan tahap awal terjadinya integrasi sosial. Masyarakat bersikap terbuka dan menerima berbagai perbedaan. Mutual alkulturasi diawali dari proses interseksi yang berjalan terus-menerus sehingga menimbulkan perasaan menyukai, menghargai, dan menghormati kebudayaan kelompok lain. Mutual akulturasi dapat mempercepat proses modernisasi.
6. Dominasi
Dominasi adalah proses penguasaan suatu kelompok sosial terhadap kelompok sosial lain. Bentuk dominasi tidak hanya terbatas pada jumlah. Dominasi juga dapat berbentuk pengaruh kebudayaan.
e. Pemecahan Masalah sebagai Dampak Keanekaragaman
Masalah-masalah sosial terkadang muncul dalam kehidupan masyarakat multikultural. Masalah sosial cenderung muncul karena perbedaan yang tidak disikapi secara bijak. Oleh karena itu, diperlukan upaya tepat untuk mengatasi permasalahan sosial. Upaya mengatasi masalah-masalah sosial dalam masyarakat multikultural sebagai berikut:
1) Mengembangkan Sikap Simpati
Simpati merupakan perasaan tertarik yang timbul dari diri seseorang terhadap orang lain. Simpati diberikan karena faktortertentu seperti, sikap, penampilan, perbuatan, prestasi individu/kelompok lain. Sikap simpati Sikap simpati dapat menyebabkan terjalinnya interaksi lintas budaya, lintas etnik, lintas agama, hingga lintas generasi.
2) Mengembangkan Sikap Empati
Sikap empati merupakan kelanjutan dari sikap simpati yang iebih mendalam. Empati adalah kemampuan merasakan diri seolah-olah
dalam keadaan orang lain dan ikut merasakan hal-hal yang dirasakan orang lain. Melalui sikap empati, seseorang dapat tergerak untuk membantu orang lain.
3) Menghargai Perbedaan
Istilah menghargai perbedaan digunakan untuk menyikapi bentuk- bentuk perbedaan dalam masyarakat seperti perbedaan jenis kelamin, ras, suku bangsa, pemikiran, dan pendapat. Menghargai perbedaan berarti menerima realitas takdir, tidak menganggap sebagai sesuatu yang buruk atau harus disingkirkan, serta menyadari perbedaan sebagai suatu yang wajar. Sikap menghargai perbedaan dapat menjadi sarana mengembangkan toleransi dalam diri.
4) Mengembangkan Toleransi
Toleransi diartikan sebagai sikap tenggang rasa (menghargai, membiarkan, dan membolehkan) terhadap pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan perilaku yang berbeda atau bertentangan. Toleransi menitikberatkan pada bentuk tindakan atau praktik kebudayaan yang berbeda dari setiap kelompok sosial.
5) Menerapkan Sikap Inklusif
Inklusif merupakan kesediaan menerima dan mengakui kehadiran individu lain yang memiliki latar belakang sosial budaya berbeda dengan dirinya. Sikap inklusif mendorong masyarakat memiliki pandangan positif terhadap perbedaan. Sikap ini tidak fokus mencari perbedaan tetapi mencari kesamaan untuk dapat menciptakan kondisi yang saling menguntungkan. Penerapan sikap inklusif dapat dilakukan dengan cara mengembangkan sikap toleransi, demokrasi, dan antidiskriminasi dalam masyarakat multikultural.
6) Mengembangkan Sikap Demokratis dan Antidiskriminasi
Sikap demokratis dan antidiskriminasi merupakan perwujudan dari pemenuhan hak asasi setiap individu atau kelompok. Sikap demokratis dan antidiskriminasi dapat mencegah pertentangan akibat perbedaan latar belakang primordial. Demokrasi dalam masyarakat tidak dapat tercapai apabila masih terdapat diskriminasi. Kondisi tersebut terjadi karena demokrasi mengutamakan persamaan hak dan perlakuan bagi setiap individu/kelompok dalam masyarakat multikultural
7) Mengembangkan Upaya Akomodatif
Upaya akomodatif bertujuan menghindari adanya pihak atau kelompok yang merasa direndahkan atau dikalahkan. Upaya akomodatif untuk menjaga integrasi dalam masyarakat multikultural dapat dilakukan dengan menjunjung pengakuan HAM, mengembangkan wawasan kebudayaan, menggelar berbagai pertunjukan kebudayaan di berbagai daerah, dan membangun forum komunikasi antargolongan.
8) Mengembangkan Semangat Nasionalisme
Semangat nasionalisme dapat menjadi landasan masyarakat untuk bersatu dalam perbedaan. Semangat nasionalisme ditandai dengan kesediaan mengesampingkan berbagai perbedaan demi keutuhan bangsa.
9) Mengembangkan Pendidikan Multikultural
Sosialisasi pendidikan multikultural merupakan upaya yang dilakukan secara sadar mengajarkan sifat-sifat masyarakat multikultural dalam memandang derajat kedudukan yang sama. Sosialisasi pendidikan multikultural dapat dilakukan oleh berbagai pihak misalnya melalui sosialisasi keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintah, dan media massa.
10) Mengembangkan Sikap Kerja Sama
Sikap saling membantu dan memahami dalam kerja sama dapat menjaga harmoni sosial. Pelaksanaan kerja sama antarkelompok dalam masyarakat tanpa memandang sifat-sifat primordial dalam pembangunan nasional dapat memajukan bangsa dan menciptakan keteraturan sosial.
f. Masyarakat Multikultural dalam Bingkai NKRI
Kekayaan alam dan keragaman budaya Indonesia merupakan potensi unik yang harus dijaga. Kekayaan alam dapat dilihat dari banyaknya sumber daya alam di Indonesia. Sementara itu, keberagaman budaya dilihat dari banyaknya budaya dan agama di Indonesia. Potensi bangsa Indonesia tersebut hendaknya menjadi kekuatan untuk membentuk integrasi sosial, bukan sebagai pemicu masalah dalam NKRI.
Berbagai suku bangsa di Indonesia dan hasil kebudayaannya merupakan
satu kesatuan yang menunjukkan identitas bangsa secara utuh. Akan tetapi, realitas kehidupan dalam masyarakat multikultural dapat berpotensi menimbulkan gesekan atau konflik antargolongan. Setiap anggota masyarakat wajib menjaga hubungan harmonis demi mewujudkan cita-cita NKRI yang tertuang dalam Pancasila sila ke-3. Berbagai perbedaan dalam masyarakat tersebut sebaiknya dipandang dari sisi positif seperti menjadi alat pemersatu untuk mempertahankan NKRI, menjadi identitas bangsa, dan menjadi fondasi sikap nasionalisme.
Apabila setiap individu/kelompok dapat memahami perbedaan suku bangsa, budaya, golongan, dan agama, integrasi sosial akan tercipta. Selain itu, perselisihan dan pertentangan antarindividu/kelompok akibat perbedaan secara horizontal tidak akan terjadi. Dengan demikian, semboyan "BhinnekaTunggal Ika” dapat terealisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
g. Berbagai Permasalahan Sosial dalam Masyarakat Multikultural
Permasalahan sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat multikultural merupakan hal yang wajar. Masalah sosial tidak dapat dihilangkan tetapi dapat diminimalisasi agar tidak bertambah besar. Ragam permasalahan sosial dalam masyarakat multikultural sebagai berikut:
1. Konflik Sosial
Konflik merupakan proses sosial yang menunjukkan ketika antarindividu/antarkelompok saling menentang disertai ancaman atau kekerasan untuk mencapai tujuannya. Pada umumnya, konflik terjadi akibat perbedaan kepentingan, perbedaan antargolongan, perbedaan pandangan, dan perubahan sosial yang terjadi terlalu cepat. Antarkelompok yang berkonflik cenderung tidak dapat menyikapi perbedaan dengan baik sehingga menganggap perbedaan tersebut sebagai ancaman.
2. Kesenjangan Sosial
Kesenjangan sosial terjadi akibat perbedaan yang timpang antarkelompok masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Perbedaan tersebut terlihat mencolok. Kenyataan ini berkaitan dengan beragamnya mata pencaharian penduduk dengan penghasilan berbeda-beda. Akibatnya, tingkat
kesejahteraan antarindividu pun berbeda-beda.
3. Stereotip
Stereotip merupakan persepsi terhadap seseorang, budaya, dan sifat khas dalam masyarakat berdasarkan prasangka subjektif yang belum tentu tepat. Stereotip dapat bersifat positif ataupun negatif. Stereotip yang terdapat dalam masyarakat cenderung bersifat negatif sehingga menyebabkan diskriminasi sosial.
4. Diskriminasi Sosial
Diskriminasi sosial merupakan sikap membeda-bedakan golongan sosial satu dengan lainnya. Diskriminasi sosial dapat terjadi karena sikap membeda-bedakan terhadap ras, agama, suku bangsa, etnik, golongan, kelas sosial, jenis kelamin, dan kondisi fisik tubuh. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan. Ketentuan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Primordialisme
Primordialisme ialah paham yang mengutamakan kepentingan suatu kelompok masyarakat sebagai bentuk kesetiaan atau loyalitas. Primordialisme dapat berfungsi melestarikan budaya kelompoknya sendiri. Akan tetapi, primordialisme yang berlebihan dapat menyebabkan perpecahan dalam masyarakat multikultural.
6. Disintegrasi
Disintegrasi menunjukkan adanya perpecahan. Disintegrasi bangsa dapat terjadi akibat konflik vertikal atau horizontal. Untuk menghindari terjadinya disintegrasi bangsa, hendaknya masyarakat mengedepankan sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan suku bangsa/etnik, agama, ras, serta golongan.
7. Etnosentrisme
Etnosentrisme dapat diartikan sebagai paham yang memandang masyarakat dan budaya milik sendiri lebih baik daripada
masyarakat/budaya lain. Etnosentrisme dapat menghambat hubungan antarsuku bangsa, proses asimilasi, dan integrasi sosial.
8. Poiitik aliran (sektarian).
Konsep sekterian ini pertama kali dikemukakan Clifford Geertz (1964) dalam kajiannya di Mojokuto, Pare, Jawa Timur ada tiga golongan masyarakat yaitu priyayi, santri dan abangan. Dari pemikiran Geetz ini, Herbert Feith (1980) kemudian menjabarkan ada lima aliran poiitik di Indonesia yaitu: Pemikiran poiitik yang dipengaruhi campuran hindu, tradisionalisme Jawa, Islam serta barat ke dalam idiologi komunisme, nasionalisme radikal, sosialisme, Islam, dan Tradisionalisme Jawa.
B. Rangkuman
Konflik merupakan suatu proses sosial ketika seseorang atau sekelompok orang berusaha mencapai tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan disertai ancaman atau kekerasan. Faktor penyebab konflik sosial di antaranya karena adanya perbedaan keyakinan dan pendirian, perbedaan kebudayaan antarkelompok masyarakat, perbedaan kepentingan antarindividu/ kelompok, kesenjangan sosial mengenai tingkat kesejahteraan, dan ketidaksiapan masyarakat menerima perubahan sosial.
Akomodasi dapat dilakukan melalui berbagai metode penyelesaian konflik. Penggunaan metode penyelesaian konflik disesuaikan dengan tipe konflik, besarnya konflik, dan dampak yang ditimbulkan. Beberapa metode penyelesaian konflik di antaranya: koersi, kompromi, arbitrase, mediasi, negosiasi, konsiliasi, rekonsiliasi, stalemate, transformasi konflik, ajudikasi, segregasi, eliminasi, subjugasi atau dominasi, serta keputusan mayoritas.
Kekerasan (violence) merupakan penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Selain penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, kekerasan juga bisa berupa ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Bentuk kekerasan dapat terbagi menjadi 3 besaran, yaitu: kekerasan langsung (kekerasan fisik/psikis), kekerasan struktural, dan kekerasan kultural.
Integrasi sosial terjadi ketika unsur-unsur dalam masyarakat saling berhubungan secara intensif di berbagai bidang kehidupan. Akibatnya, terjadi pembauran beberapa unsur berbeda dan setiap unsur dalam masyarakat dapat bekerja sama dengan unsur lain. Integrasi sosial dibedakan menjadi tiga sifat, yaitu integrasi normatif, integrasi fungsional, dan integrasi koersif.
Masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai masyarakat yang memiliki beraneka ragam kebudayaan yang menekankan pada keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan atau kesetaraan. Artinya, tidak ada posisi superior dan inferior antaretnik, ras, jenis kelamin, serta agama. Terbentuknya masyarakat multikultural dilatarbelakangi oleh berbagai faktor-faktor antara lain: bentuk wilayah dan kenampakan alam, perbedaan iklim, dan letak geografis.
Hubungan sosial antarkelompok dalam masyarakat multikultural menghasilkan berbagai konsekuensi sosial yang dapat diamati dan dipelajari. Adapun konsekuensi tersebut sebagai berikut: asimilasi, interseksi, integrasi, konsolidasi, mutual akulturasi, hingga dominasi.
Permasalahan sosial yang muncul di tengah masyarakat multikultural tidak dapat dihilangkan tetapi dapat diminimalisasi agar tidak bertambah besar. Ragam permasalahan sosial dalam masyarakat multikultural sebagai berikut: konflik sosial, kesenjangan sosial, stereotip, diskriminasi sosial, primordialisme, ancaman disintegrasi, etnosentrisme, dan poiitik aliran (sektarian).
Masalah sosial cenderung muncul karena perbedaan yang tidak disikapi secara bijak. Oleh karena itu, diperlukan upaya tepat untuk mengatasi permasalahan sosial. Adapun upaya mengatasi masalah-masalah sosial dalam masyarakat multikultural sebagai berikut: 1) mengembangkan sikap simpati; 2) mengembangkan sikap empati; 3) menghargai perbedaan; 4) mengembangkan toleransi; 5) menerapkan sikap inklusif; 6) mengembangkan sikap demokratis dan antidiskriminasi; 7) mengembangkan upaya akomodatif;
8) mengembangkan semangat nasionalisme; 9.) mengembangkan pendidikan multikultural; dan 10) mengembangkan sikap kerja sama.
0 komentar:
Posting Komentar