Kondisi masyarakat Indonesia pada masa penjajahan mengalami perubahan dalam berbagai bidang. Pemerintah kolonial Belanda menerapkan banyak kebijakan yang merugikan bangsa Indonesia. Bahkan mereka melakukan agresi militer untuk merebut kekuasaan wilayah, memaksa rakyat untuk menjual hasil panen dengan murah, bahkan untuk menanamnya tanpa upah, dan lain sebagainya.
Bahkan sejak berdirinya kongsi perdagangan VOC saja, masyarakat sudah dirugikan oleh monopoli rempah-rempah yang mereka lakukan, karena harga jual rempah-rempah yang merupakan produk utama Bangsa Indonesia di masa itu menjadi sangat rendah. Dengan demikian kondisi masyarakat indonesia pada masa penjajahan dan berdirinya VOC adalah tertekan dan menderita dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, tidak heran apabila bangsa Indonesia sering kali melakukan perlawanan untuk mengusir penjajah.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Indonesia awalnya berjalan sebagai aktivitas perdagangan saja. Namun perubahan yang besar terjadi karena terjadinya monopoli Belanda semenjak Negara Inggris terpaksa hengkang. Hal tersebut karena Belanda berhasil membujuk Kerajaan Banten untuk mencabut izin kantor dagang Inggris. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah pemaparan mengenai pengaruh monopoli dalam perdagangan.
Pengaruh Monopoli dalam Perdagangan
Pengertian monopoli adalah penguasaan pasar yang dilakukan oleh satu atau sedikit perusahaan (Tim Kemdikbud, 2017, hlm. 206). Bagi pelaku perusahaan, monopoli sangat menguntungkan karena mereka dapat menentukan harga beli dan harga jual. Namun sangat merugikan bagi perusahaan-perusahaan lain termasuk bagi para konsumen atau masyarakat umum.
Pada saat melakukan monopoli rempah-rempah di Indonesia, VOC membuat perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Isinya, setiap kerajaan hanya mengizinkan rakyat menjual hasil bumi kepada VOC. Karena produsen sudah dikuasai VOC, maka pada saat rempah-rempah dijual, harganya sangat turun. Sebaliknya, VOC menjualnya kembali ke Eropa dengan harga yang sangat tinggi.
Sebetulnya, pada awal kedatangannya, bangsa-bangsa Barat diterima dengan baik oleh rakyat Indonesia. Namun hubungan perdagangan tersebut kemudian berubah menjadi hubungan penguasaan atau penjajahan. Awalnya VOC hanya meminta keistimewaan hak-hak dagang. Akan tetapi, dalam perkembangannya menjadi penguasaan pasar (monopoli).
VOC menekan para raja untuk memberikan kebijakan perdagangan hanya dengan VOC. Akhirnya, VOC bukan hanya menguasai daerah perdagangan, tetapi juga menguasai politik atau pemerintahan. VOC terus berusaha memperoleh kekuasaan yang lebih dari sekedar jual beli. Itulah yang memicu kekecewaan, kebencian, dan perlawanan fisik dari rakyat Indonesia.
Politik Adu Domba
Lalu mengapa kerajaan-kerajaan di Indonesia membiarkan VOC memonopoli perdagangan? Semua itu terjadi karena keterpaksaan. Belanda memaksa kerajaan-kerajaan di Indonesia untuk menandatangani kontrak monopoli dengan berbagai cara.
Salah satu caranya adalah politik adu domba atau dikenal devide et impera. Adu domba yang dilakukan Belanda dapat terjadi terhadap kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lain, atau antarpejabat kerajaan. Apa tujuan Belanda melakukan politik adu domba tersebut?
Tentunya, Belanda berharap akan terjadi permusuhan antarbangsa Indonesia, sehingga terjadi perang antarkerajaan. Belanda juga ikut terlibat dalam konflik internal yang terjadi di kerajaan Indonesia. Pada saat terjadi perang antarkerajaan, Belanda akan mendukung salah satu kerajaan yang berperang.
Demikian pula halnya saat terjadi konflik di dalam kerajaan, Belanda akan mendukung salah satu pihak. Setelah pihak yang didukung Belanda menang, Belanda akan meminta balas jasa. Seusai perang, Belanda biasanya meminta imbalan berupa monopoli perdagangan atau penguasaan atas beberapa lahan atau daerah. Akibat monopoli, rakyat Indonesia sangat menderita.
Pemerintahan Hinda Belanda
Selanjutnya, untuk memperluas kekuasaan, VOC mempersiapkan penguasaan dengan cara militer atau perang. Beberapa gubernur jenderal, seperti Antonio van Diemon (1635- 1645, Johan Maatsuyeker (1653-1678), Rijklof van Goens (1678-1681), Cornellis Janzoon Speelman (1681-1684), merupakan tokoh-tokoh peletak dasar dan awal politik ekspansi VOC di Nusantara (Tim Kemdikbud, 2017, hlm. 207).
Namun, pada akhir abad XVIII VOC mengalami kebangkrutan. Korupsi dan manajemen perusahaan yang kurang baik menjadi penyebab utama kebangkrutan VOC. Karena hal tersebut, akhirnya pada tanggal 13 Desember 1799, VOC dibubarkan.
Mulai pada tanggal 1 Januari 1800, Indonesia akhirnya menjadi jajahan Pemerintah Belanda. Keadaan ini juga sering disebut sebagai masa Pemerintahan Hindia Belanda. Mulai periode inilah Belanda secara resmi menjalankan pemerintahan kolonial dalam arti yang sebenarnya.
Pengaruh Kebijakan Kerja Paksa
Melakukan pekerjaan karena dipaksa juga akan membuat seseorang menderita. Hal itulah yang dialami bangsa Indonesia pada masa penjajahan dahulu. Pemerintah Belanda menginginkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari bumi Indonesia sehingga menerapkan kebijakan kerja paksa.
Rakyat Indonesia bekerja tanpa fasilitas yang memadai dan tidak memperoleh penghasilan yang layak. Para pekerja rodi juga tidak diperhatikan asupan makanannya, dan melakukan pekerjaan di luar batas-batas kemanusiaan.
Bagaimana kerja paksa yang terjadi pada masa pemerintah Hindia Belanda? Menurut Tim Kemdikbud (2017, hlm. 209) salah satu bentuk kerja paksa yang diterapkan pada masa pemerintah Hindia Belanda adalah pembangunan Jalan Anyer-Panarukan (Jalan Raya Pos).
Pembangunan Jalan Anyer-Panarukan (Jalan Raya Pos)
Gubernur Jenderal Daendels, yang memerintah tahun 1808-1811, melakukan berbagai kebijakan seperti pembangunan militer, jalan raya, perbaikan pemerintahan, dan perbaikan ekonomi. Salah satu kebijakan yang terkenal dan buktinya dapat disaksikan hingga masa sekarang adalah pembangunan jalan Anyer-Panarukan (Jalan Raya Pos).
Jalan Raya Pos (Anyer-Panarukan) sangat penting bagi pemerintah kolonial. Jalan tersebut dibangun dengan tujuan utama untuk kepentingan militer pemerintah kolonial. Dalam perkembangannya, jalan tersebut menjadi sarana transportasi pemerintahan dan mengangkut berbagai hasil bumi.
Pembangunan jalur Anyer-Panarukan sebagian besar dilakukan oleh tenaga manusia. Puluhan ribu penduduk dikerahkan untuk membangun jalan tersebut. Rakyat Indonesia dipaksa Belanda untuk membangun jalan. Mereka tidak digaji dan tidak menerima makanan yang layak.
Akibatnya, ribuan penduduk meninggal baik karena kelaparan maupun penyakit yang diderita. Pengerahan penduduk untuk mengerjakan berbagai proyek Belanda inilah yang disebut kerja rodi atau kerja paksa.
Kerja paksa pada masa pemerintah Belanda banyak ditemukan di berbagai tempat. Banyak penduduk yang dipaksa menjadi budak dan dipekerjakan di berbagai perusahaan tambang ataupun perkebunan. Kekejaman Belanda ini masih dapat kalian buktikan dalam berbagai kisah yang ditulis dalam buku-buku sejarah dan novel.
Pengaruh Sistem Sewa Tanah
Saat Inggris menguasai Indonesia pada sekitar abad XIX, Gubernur Jenderal Lord Minto membagi daerah jajahan Hindia Belanda menjadi empat gubernement, yakni Malaka, Sumatra, Jawa, dan Maluku. Lord Minto selanjutnya menyerahkan tanggung jawab kekuasaan atas seluruh wilayah itu kepada Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.
Salah satu kebijakan terkenal pada masa Raffles adalah sistem sewa tanah atau landrent-system atau landelijk stelsel. Sistem tersebut memiliki ketentuan, antara lain sebagai berikut.
Petani harus menyewa tanah meskipun dia adalah pemilik tanah tersebut.
Harga sewa tanah tergantung kepada kondisi tanah.
Pembayaran sewa tanah dilakukan dengan uang tunai.
Bagi yang tidak memiliki tanah dikenakan pajak kepala (Tim Kemdikbud, 2017, hlm. 213).
Pelaksanaan sistem sewa tanah tersebut dianggap memiliki banyak kelemahan sehingga gagal diterapkan di Indonesia. Menurut Tim Kemdikbud (2017, hlm. 214) beberapa penyebab kegagalan pelaksanaan sistem sewa tanah adalah sebagai berikut.
Sulit menentukan besar kecil pajak bagi pemilik tanah karena tidak semua rakyat memiliki tanah yang sama.
Sulit menentukan luas dan tingkat kesuburan tanah petani.
Keterbatasan jumlah pegawai.
Masyarakat desa belum mengenal sistem uang.
Sistem sewa tanah diberlakukan terhadap daerah-daerah di Pulau Jawa, kecuali daerah-daerah Batavia dan Parahyangan. Daerah-daerah Batavia umumnya telah menjadi milik swasta dan daerah-daerah Parahyangan merupakan daerah wajib tanaman kopi yang memberikan keuntungan besar kepada pemerintah.
Pengaruh Sistem Tanam Paksa
Pada tahun 1830,Johannes van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel). Kebijakan ini diberlakukan karena Belanda menghadapi kesulitan keuangan akibat perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) dan Perang Belgia (1830- 1831).
Ketentuan kebijakan tanam paksa yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda sangat memberatkan masyarakat Indonesia. Apalagi, pelaksanaannya penuh dengan penyelewengan sehingga semakin menambah penderitaan rakyat Indonesia.
Sistem Tanam Paksa
Praktik-praktik penekanan dan pemaksaan terhadap rakyat tersebut antara lain sebagai berikut.
Menurut ketentuan, tanah yang digunakan untuk tanaman wajib hanya 1/5 dari tanah yang dimiliki rakyat. Namun kenyataannya, selalu lebih bahkan sampai ½ bagian dari tanah yang dimiliki rakyat.
Kelebihan hasil panen tanaman wajib tidak pernah dibayarkan.
Waktu untuk kerja wajib melebihi dari 66 hari, dan tanpa imbalan yang memadai.
Tanah yang digunakan untuk tanaman wajib tetap dikenakan pajak.
Korban Tanam Paksa
Penderitaan rakyat Indonesia akibat kebijakan Tanam Paksa ini dapat dilihat dari jumlah angka kematian rakyat Indonesia yang tinggi akibat kelaparan dan penyakit kekurangan gizi.
Pada tahun 1848-1850, karena paceklik, 9/10 penduduk Grobogan, Jawa Tengah mati kelaparan. Dari jumlah penduduk yang semula 89.000 orang, yang dapat bertahan hanya 9.000 orang.
Penduduk Demak yang semula berjumlah 336.000 orang hanya tersisa sebanyak 120.000 orang.
Data ini belum termasuk data penduduk di daerah lain, yang menunjukkan betapa mengerikannya masa penjajahan saat itu. Tentu saja, tingginya kematian tersebut bukan semata-mata disebabkan sistem Tanam Paksa, melainkan akumulasi dari berbagai hal lainnya dari pengaruh penjajahan pula.
Sistem ini membuat banyak pihak bersimpati dan mengecam praktik Tanam Paksa. Kecaman tidak hanya datang dari bangsa Indonesia, tetapi juga orang-orang Belanda. Mereka menuntut agar Tanam Paksa dihapuskan.
Kecaman dari berbagai pihak tersebut membuahkan hasil dengan dihapusnya sistem Tanam Paksa pada tahun 1870. Orang-orang Belanda yang menentang adanya Tanam Paksa tersebut di antaranya Baron van Hoevel, E.F.E. Douwes Dekker (Multatuli), dan L. Vitalis.
Pada tahun 1870, keluar Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan yang menegaskan bahwa pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah pemerintah maupun tanah penduduk.
Pada tahun yang sama juga (1870) keluar Undang-undang Gula (Suiker Wet), yang berisi larangan mengangkut tebu keluar dari Indonesia. Tebu harus diproses di Indonesia. Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap dan diambil alih oleh pihak swasta.
Melalui UU Gula, perusahaan-perusahaan swasta Eropa mulai berinvestasi di Hindia-Belanda di bidang perkebunan. Sejak UU Agraria dan UU Gula dikeluarkan, pihak swasta semakin banyak memasuki tanah jajahan di Indonesia.
Mereka memainkan peranan penting dalam mengeksploitasi tanah jajahan. Tanah jajahan di Indonesia berfungsi sebagai tempat untuk mendapatkan bahan mentah, penanaman modal asing, tempat pemasaran barang-barang hasil industri dari Eropa, serta penyedia tenaga kerja yang murah.
Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperialisme
Selama masa penjajahan, rakyat Nusantara secara aktif mencoba menentang dan mengusir penjajah. Meskipun sering kali mengalami kegagalan, berbagai perlawanan ini muncul terus-menerus, baik kepada Portugis, persekutuan dagang VOC, maupun pemerintah Hindia Belanda.
Menurut Tim Kemdikbud (2017, hlm. 217) beberapa bentuk perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme di Indonesia adalah sebagai berikut.
Perlawanan terhadap Persekutuan Dagang
Sultan Baabullah Mengusir Portugis
Pada tahun 1575, Kerajaan Tidore dibawah pimpinan Sultan Baabullah bersama dengan rakyat Maluku berhasil mengusir Portugis berhasil diusir dari Ternate. Selanjutnya, Portugis melarikan diri dan menetap di Ambon. Pada tahun 1605, Portugis berhasil diusir oleh VOC dari Ambon. Portugis kemudian menyingkir ke Timor Timur/Timor Leste dan melakukan kolonisasi di tempat itu.
Perlawanan Aceh
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), armada Aceh telah disiapkan untuk menyerang kedudukan Portugis di Malaka. Saat itu, Aceh telah memiliki armada laut yang mampu mengangkut 800 prajurit. Pada tahun 1629, Aceh mencoba menaklukkan Portugis, tetapi penyerangan yang dilakukan Aceh ini belum berhasil mendapat kemenangan. Meskipun demikian, Aceh masih tetap berdiri sebagai kerajaan yang merdeka.
Ketangguhan “Ayam Jantan dari Timur”
Suatu ketika, Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin atau yang dijuluki “Ayam Jantan dari Timur” oleh Belanda, berselisih paham dengan kerajaan Bone (Arung Palaka). Hal ini dimanfaatkan VOC dengan mengadu domba kedua kerajaan tersebut. VOC memberikan dukungan, sehingga Bone menang saat perang dengan Gowa tahun 1666. Sultan Hassanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Perjanjian Bongaya telah memangkas kekuasaan Kerajaan Gowa sebagai kerajaan terkuat di Sulawesi. Tinggal kerajaan-kerajaan kecil, yang sulit melakukan perlawanan terhadap VOC.
Serangan Mataram terhadap VOC
Perselisihan antara Mataram dan Belanda terjadi karena nafsu monopoli Belanda. Raja Mataram Sultan Agung segera mempersiapkan penyerangan terhadap kedudukan VOC di Batavia. Serangan pertama dilakukan pada tahun 1628. Pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Baurekso, yang tiba di Batavia tanggal 22 Agustus 1628. Serangan pertama yang dilakukan oleh Mataram gagal sehingga terpaksa pasukan ditarik kembali ke Mataram tanggal 3 Desember 1628. Serangan kedua dimulai pada tanggal 1 Agustus dan berakhir 1 Oktober 1629. Namun, serangan kedua ini pun gagal, karena faktor kelemahan yang sama seperti pada serangan pertama.
Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda
Perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Abad XIX merupakan puncak perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah menentang Pemerintah Hindia Belanda. Menurut Tim Kemdikbud (2017, hlm. 222) berikut adalah proses perlawanan rakyat Indonesia terhadap pemerintah Hindia Belanda pada abad XIX.
Perang Saparua di Ambon
Pattimura memimpin perlawanan di Saparua dan berhasil merebut benteng Belanda serta membunuh Residen van den Berg. Dalam perlawanan tersebut, turut serta pula seorang pahlawan wanita bernama Christina Martha Tiahahu yang merupakan putri tunggal dari Paulus Tiahahu, teman dari Kapten Pattimura.
Perang Paderi di Sumatra Barat (1821-1838)
Perlawanan kaum Padri dengan sasaran utama Belanda meletus tahun 1821. Kaum Padri dipimpin Tuanku Imam Bonjol (M Syahab), Tuanku nan Cerdik, Tuanku Tambusai, dan Tuanku nan Alahan. Perlawanan kaum Padri berhasil membuat Belanda terpojok. Di saat yang sama, Belanda juga sedang menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830).
Belanda sadar apabila pertempuran dilanjutkan, Belanda akan kalah. Belanda pun mengajak kaum Padri berdamai, yang diwujudkan di Bonjol tanggal 15 November 1825. Selanjutnya, Belanda berkonsentrasi ke Perang Diponegoro dan berhasil memadamkan perlawanan Diponegoro.
Namun, setelah itu, Belanda kembali melakukan penyerangan terhadap Padri dan pada akhirnya berhasil membuat kekuasaan Belanda di Minangkabau semakin besar.
Perang Diponegoro (1825-1830)
Perang Diponegoro merupakan salah satu perang besar yang dihadapi Belanda. Perlawanan Pangeran Diponegoro tidak lepas dari kegelisahan dan penderitaan rakyat akibat penindasan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda.
Campur tangan pemerintah Hindia Belanda dalam urusan Keraton Yogyakarta merupakan salah satu penyebab kegelisahan rakyat. Pajak-pajak yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda dan kebijakan ekonomi lainnya menjadi sumber penderitaan rakyat, yang ikut juga melatarbelakangi Perang Diponegoro.
Perang Aceh
Traktat London tahun 1871 menyebut Belanda menyerahkan Sri Lanka kepada Inggris, dan Belanda mendapat hak atas Aceh. Berdasarkan traktat tersebut, Belanda mempunyai alasan untuk menyerang istana Aceh.
Saat itu, Aceh masih merupakan negara merdeka. Belanda melakukan penyerangan hingga membakar Masjid Baiturrahman yang menjadi benteng pertahanan Aceh 5 April 1873. Semangat perang membela agama Islam menggerakkan perlawanan rakyat Aceh. Jendral besar Belanda, yakni Kohler terbunuh saat pertempuran di depan Masjid Baiturrahman, Banda Aceh.
Kohler meninggal dekat dengan pohon yang sekarang diberi nama Pohon Kohler. Siasat konsentrasi stelsel dengan sistem bertahan dalam benteng besar oleh Belanda tidak berhasil. Belanda semakin terdesak, korban semakin besar, dan keuangan terus terkuras.
Belanda sama sekali tidak mampu menghadapi secara fisik perlawanan rakyat Aceh. Menyadari hal tersebut, Belanda mengutus Dr. Snouck Hurgronje yang memakai nama samaran Abdul Gafar. Sebagai seorang ahli bahasa, sejarah, dan sosial Islam, ia dimintai masukan atau rekomendasi tentang cara-cara mengalahkan rakyat Aceh.
Taktik yang paling mujarab adalah dengan mengadu domba antara golongan Uleebalang (bangsawan) dan kaum ulama. Belanda menjanjikan kedudukan pada Uleebalang yang bersedia damai. Taktik ini berhasil, banyak Uleebalang yang tertarik pada tawaran Belanda.
Belanda memberikan tawaran kedudukan kepada para Uleebalang apabila kaum ulama dapat dikalahkan. Sejak tahun 1898, kedudukan Aceh semakin terdesak. Banyak pahlawan-pahlawan Aceh yang gugur dalam peperangan melawan Belanda.
Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh pada 1899. Sultan Aceh Mohammad Daudsyah ditawan pada tahun 1903 dan diasingkan hingga meninggal di Batavia. Panglima Polem Mohammad Daud juga menyerah pada tahun 1903. Cut Nyak Dien, tokoh pemimpin perempuan, ditangkap tahun 1906, kemudian diasingkan ke Sumedang.
Pahlawan perempuan Cut Meutia gugur pada tahun 1910. Perlawanan Aceh pun terus menyusut. Hingga tahun 1917, Belanda masih melakukan pengejaran terhadap sisa-sisa perlawanan Aceh. Belanda mengumumkan berakhirnya Perang Aceh pada tahun 1904. Padahal, perlawanan seporadis rakyat Aceh masih berlangsung hingga tahun 1930an.
Perlawanan Sisingamangaraja, Sumatra Utara
Perlawanan terhadap Belanda di Sumatra Utara dilakukan oleh Sisingamangaraja XII. Perjuangan perlawanan ini disebut juga denganPerang Batak, dan berlangsung selama 29 tahun. Pertempuran diawali dari Bahal Batu, yang menjadi pusat pertahanan Belanda tahun 1877.
Untuk menghadapi Perang Batak, Belanda menarik pasukan dari Aceh. Pasukan Sisingamangaraja dapat dikalahkan setelah Kapten Christoffel berhasil mengepung benteng terakhir Sisingamangaraja di Pakpak. Kedua putra beliau Patuan Nagari dan Patuan Anggi ikut gugur, sehingga seluruh Tapanuli dapat dikuasai Belanda.
Perang Banjar
Perang Banjar berawal ketika Belanda campur tangan dalam urusan pergantian raja di Kerajaan Banjarmasin. Belanda memberi dukungan kepada Pangeran Tamjidillah yang tidak disukai rakyat.
Perlawanan dilakukan oleh Prabu Anom dan Pangeran Hidayat. Pada tahun 1859, Pangeran Antasari memimpin perlawanan setelah Prabu Anom ditangkap Belanda. Pasukan Pangeran Antasari dapat didesak. Pada tahun 1862, Pangeran Hidayat menyerah, dan berakhirlah perlawanan Banjar di Pulau Kalimantan. Perlawanan benar-benar dapat dipadamkan pada tahun 1905
Perang Jagaraga di Bali
Perang Jagaraga berawal ketika Belanda dan Kerajaan di Bali bersengketa tentang hak tawan karang. Hak tawan karang menyatakan bahwa setiap kapal yang kandas di perairan Bali menjadi hak penguasa di daerah tersebut. Pemerintah Belanda memprotes raja Buleleng yang menyita 2 (dua) kapal milik Belanda. Raja Buleleng tidak menerima tuntutan Belanda untuk mengembalikan kedua kapalnya.
Persengketaan ini menyebabkan Belanda melakukan serangan terhadap Kerajaan Buleleng pada tahun 1846. Belanda berhasil menguasai Kerajaan Buleleng, sementara Raja Buleleng menyingkir ke Jagaraga dibantu oleh Kerajaan Karangasem.
Setelah berhasil merebut Benteng Jagaraga, Belanda melanjutkan ekspedisi militer tahun 1849. Dua kerajaan Bali, yaitu Gianyar dan Klungkung menjadi sasaran Belanda pada tahun 1906. seluruh kerajaan di Bali pun jatuh ke pihak Belanda setelah rakyat melakukan perang habis-habisan sampai mati, yang dikenal dengan perang puputan jagaraga.
0 komentar:
Posting Komentar